Yang Tersisa dari Norwegian Wood

Zee
9 min readOct 17, 2024

--

Daun-daun berguguran dihempas angin siang di sebuah wilayah yang untuk disebut hutan, sebetulnya tidak terlalu seperti hutan belantara. Aku teringat pada beberapa adegan di dalam novel Norwegian Wood. Saat membaca novel ini sekitar 3 atau 4 tahun lalu, kondisi mentalku masih tidak stabil, sehingga kesan yang aku dapatkan setelah membacanya mengantarku pada perasaan hampa. Sekarang, saat kondisi mentalku jauh lebih stabil, aku tertarik untuk membaca ulang yang ke-2 kalinya. Membaca ulang sebuah alur cerita dalam novel fiksi adalah hal yang jarang bahkan hampir tidak pernah aku lakukan, pasti akan selalu beranjak menuju cerita-cerita lainnya. Tentu karena aku benci bernostalgia dan mengingat ulang hal-hal yang tak mengenakkan perasaan. Khusus kali ini, aku rasa perlu menyelami kembali setiap karakter yang ada dalam Norwegian Wood.

Orang bilang, membaca buku yang sama dua kali tidak lantas merubah jalan cerita apalagi ending-nya. Itu benar. Tapi bagiku, membaca ulang buku yang sama dengan kondisi mental yang berbeda, juga akan memberi kesan yang berbeda pada setiap plot-plotnya.

Perihal penulisnya, sebetulnya sudah banyak kritik pada Haruki Murakami karena tulisan-tulisannya yang terlalu terobsesi pada tubuh perempuan. Murakami menggambarkan secara detail bagian-bagian seksual tubuh perempuan. Jujur saja, aku juga cukup terganggu dengan selipan-selipan ini pada karya-karya yang dibuatnya. Tapi aku tidak terlalu berfokus pada bagian ini, rangkaian ceritanya jauh lebih mindful dari sekadar mengingat bagian-bagian yang kurang penting (bagiku). Ini membuatku bertanya-tanya, apakah suatu hal yang normal di Jepang untuk tidur dengan perempuan mana saja, padahal hati dan pikiran hanya tertuju untuk satu orang? Sebelum lebih jauh memasukkan pandanganku, penting sekali menurutku untuk memisahkan antara kompas moral pribadi dengan rangkaian isi cerita dalam sebuah novel. Karena kalau tidak dipisahkan, maka aku kira tidak akan pernah benar-benar bisa menyelami isi dari setiap karakter yang sudah dibangun sedemikian kompleksnya. Ya, walaupun di sampul novel tertulis U 15+ tapi bagiku ini bukan soal usia berapa seseorang diperbolehkan membaca novel ini, lebih baik ketika mereka yang mau membacanya sudah mendapatkan pendidikan seks terlebih dahulu.

Aku adalah tipe manusia yang tak pandai memahami segala sesuatu tanpa menulisnya di atas secarik kertas.” Aku setuju dengan perkataan Watanabe yang satu ini. Begitu pula aku, untuk memahami setiap karakternya, aku mencoba menulis kesan-kesanku saat menyelami isi kepala setiap karakter yang dibangun. Tak terasa sudah ada 3 lembar kertas hvs bolak-balik yang aku habiskan untuk menuliskan betapa rumitnya kisah Watanabe dan Naoko.

Norwegian Wood menggambarkan tentang memori mengesankan yang kadang suka muncul tiba-tiba bahkan di saat-saat tak terduga. Seperti ketika Watanabe mendengar lagu Norwegian Wood karya The Beatles terputar di dalam pesawat yang sedang ia tumpangi. Pelan-pelan tiap alunan musiknya menyusun potongan-potongan kenangan bersama kekasihnya di masa lalu, Naoko — seperti mengingat printilan-printilan yang ada pada tubuhnya. Mulai dari bentuk daun telinga, rambut panjang yang halus, kemudian perlahan menyusun ingatannya pada wajah Naoko, yang semula ia lupa.

Aku suka cara Murakami membangun karakter dengan sangat reflektif melalui kiasan-kiasan yang cukup mendalam. Ketika Naoko bercerita pada Watanabe bahwa di tempat mereka sedang berdua itu ada sumur yang dalam, tetapi tidak ada seorangpun yang bisa menemukannya. Lalu, ia memperingati, “Karena itu jangan sekali-kali menyimpang dari jalan yang sudah ada.” Sumur yang Naoko ceritakan ini merupakan permisalan sebuah wilayah kenangan (yang tidak sempurna) — yang kadang kalau kita terjatuh atau terjebak di dalamnya, membuat diri kita hancur dan tidak bisa kemana-mana. Begitulah Murakami menggambarkan permisalan seseorang yang terjebak pada memori-memori masa lalu, ia akan sulit beranjak melanjutkan hidup.

Naoko dan Watanabe. Dua tokoh utama dengan karakter yang sangat kuat melekat di dalam dirinya. Naoko yang sulit menyampaikan isi kepalanya, bertemu dengan Watanabe, pribadi yang cukup tenang dan selalu mau memahami Naoko dengan segala kompleksitas isi kepalanya. Dulu, aku menganggap Watanabe adalah seseorang yang bejat, tapi setalah mengenal ulang karakternya, aku merubah penilaianku tentangnya. Ia jauh lebih bijaksana daripada yang aku kira sebelumnya. Cara berpikir Watanabe sangat logis karena ia cerdas dan pintar, serta bisa menguraikan sesuatu agar mudah dimengerti. Mungkin ini bagian dari efek kondisi mental yang jauh lebih stabil, juga berbagai tempaan hidup yang membuatku berusaha memberi penilaian terhadap seseorang lebih dalam lagi.

Menurut Watanabe, pemikiran Naoko terlalu kaku dan tegang, “Kenapa begitu kaku memikirkan sesuatu? Santailah. Kau begitu tegang, sehingga semuanya tampak begitu sulit. Kalau bisa sedikit lebih longgar, tubuhmu akan terasa ringan.” Aku suka perkataan Watanabe yang satu itu. Ibaratnya seperti orang yang senang berolahraga, tubuhnya akan lebih rileks dan geraknya jauh lebih fleksibel. Sama halnya dengan pikiran kita; semakin kita rileks, maka akan lebih fleksibel dalam berpikir, tidak kaku dan tegang. Walau begitu, ia tetap selalu berusaha memahami Naoko dan semua isi kepalanya yang rumit.

Saking kompleksnya, bagi beberapa orang perlu diberi Trigger warning karena ada banyak tokoh yang mengalami suicidal, dan bagi mereka yang ditinggalkan, banyak menyimpan luka dan kesedihan mendalam. Seperti halnya ketika Naoko ditinggalkan oleh Kizuki, ia terjebak pada memori lama dan bingung mecari cara yang tepat untuk beranjak. Mengingatkannya saat kecil, dulu juga ia pernah ditinggalkan oleh kakaknya dengan cara yang sama. Pasti tidak mudah baginya untuk keluar dari genangan lumpur yang menjadikannya traumatis. Sampai pada suatu titik, setelah mencoba berbagai upaya untuk sembuh, ia pun memilih jalan akhir yang sama seperti mereka. Tapi di sini, aku tidak akan banyak-banyak menceritakan tentang Naoko dan Watanabe, karena kesannya akan jauh lebih menyentuh ketika membaca langsung Norwegian Wood secara utuh.

Dalam kehidupan, pasti akan selalu menemui berbagai macam karakter manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Begitu pula dalam kehidupan seorang Watanabe, ia bertemu dengan berbagai orang-orang baru dengan keunikan dan keanehannya, termasuk Nagasawa-san. Ia merupakan pribadi yang cerdas dan unik. Aku tertarik ketika Nagasawa-san, sebagai seseorang yang senang sekali mempelajari hal-hal baru mengatakan, “Kalau kita membaca buku yang sama dengan yang dibaca orang lain, kita cuma bisa berpikir seperti orang lain.” Memang kadang-kadang perlu untuk mengambil susunan buku di dalam rak yang jarang disentuh oleh kebanyakan orang untuk memperkaya perspektif. Tapi, di balik kelebihan Nagasawa-san yang memang sangat cerdas, ia menganggap perempuan sebagai objek dan sebuah permainan. Padahal, ia sudah memiliki pacar yang setia dan baik. Sebagai pembaca, aku cuma bisa tidak menyetujui perbuatannya, selebihnya itu menjadi urusan Nagasawa-san seutuhnya. Tapi ada salah satu filosofi hidupnya yang aku suka. Seperti filosofi kunang-kunang; ia tampak redup ketika banyak cahaya di sekitarnya. Tapi, justru bersinar terang dengan indah saat sekelilingnya gelap. Kadang kala, ketika berada di situasi menyedihkan dan kelam, kita perlu melihat potensi dalam diri. Jangan-jangan titik terang itu berasal dari dalam diri kita.

Begitu pula dengan Midori, teman sekelas Watanabe di kampus. Ia mengagumi gaya bicara dan bahasa Watanabe. Masalah hidupnya sangat pelik, sedangkan ia tidak punya tempat untuk bercerita dengan nyaman. Sampai ketika bertemu seorang Watanabe, ia merasa dirinya bisa diterima apa-adanya, perasaannya divalidasi, dan egonya diberi pemakluman. Dan karena itu, ia banyak menceritakan segala hal dari yang penting sampai yang tidak penting bahkan tidak pantas untuk diceritakan sama sekali. Lebih-lebih mereka nyambung ketika bercanda karena memiliki selera humor yang sama. Sama seperti Watanabe, ia juga suka mengungkapkan pemikiran lewat tulisan. Walaupun sosok Midori kurang anggun menurut Watanabe, tetapi kadang-kadang ia menjadi sangat bijak perihal kehidupan. Ia memunculkan sisi bijaksananya ketika Watanabe sedang sedih,

Anggap saja kehidupan ini sebagai kaleng biskuit. Di dalam kaleng biskuit itu ada bermacam-macam biskuit, ada yang kamu sukai ada pula yang tak kamu suka. Setiap mengalami sesuatu yang menyedihkan aku selalu berpikir seperti itu. Kalau yang ini sudah kulewati, nanti akan datang yang menyenangkan, begitu.

Saking sukanya kepada Watanabe, ia rela meninggalkan pacarnya yang pemarah dan banyak mengatur itu karena lebih memilih Watanabe. Walaupun pada saat itu, belum tentu Watanabe memilihnya, karena untuk sekian lamanya ia hanya menyukai sepihak. Untungya, di ujung plot, akhirnya ia bisa bersama Watanabe. Ternyata selama ini Watanabe hanya menepis perasaan sukanya pada Midori, lebih tepatnya karena perasaan Watanabe masih terbelenggu dengan Naoko. “Aku mencintai Midori. Dan mungkin, hal itu sudah kuketahui sejak lama. Aku hanya terus menghindari kesimpulan itu dalam waktu yang cukup lama.”

Ah, hampir saja aku melupakan bagian dari cerita Naoko yang penting untuk diingat sebagai bentuk pembelajaran. Beberapa tahun setelah kepergian kekasih pertamanya, Kizuki. Naoko masih belum juga pulih dari kesedihannya, hingga ia memilih untuk melakukan proses penyembuhan di Asrama Ami. Di sana, ia memiliki kehidupan yang teratur. Gambaran kehidupan di dalamnya mulai dari berolahraga, keterpisahan dari dunia luar tanpa tv dan radio, tempat yang sepi, udara yang segar, dan berbagai kegiatan produktif, seperti berkebun, merajut, bermain musik, dan masih banyak lagi. Manusia yang telah memilih untuk melakukan penyembuhan di sana saling tolong menolong demi proses penyembuhan masing-masing dengan mengacu pada 2 prinsip:

  1. Harus punya keinginan menolong seseorang.
  2. Harus berpikir bahwa kita sendiri butuh ditolong seseorang.

Mereka saling bercermin. Perasaan Naoko diterima di sana, dan ia dikelilingi oleh orang-orang yang mengerti trauma yang ia rasakan. Naoko pernah menyampaikan bagaimana proses ia untuk pulih selama berada di sana melalui sebuah surat yang dikirimkan kepada Watanabe. Beberapa penggalan yang cukup mindful akan aku abadikan di sini.

Beradaptasi dengan kemiringan atau hal-hal yang kurang enak dalam diri kita dan coba menerimanya dengan cara latihan atau membiasakan diri. Kalau dipaksa hanya akan membuatnya semakin kacau.

Aku setuju dengannya. Untuk bisa pulih dari sesuatu yang kurang mengenakkan memang perlu untuk terbiasa dengannya, dan menikmati proses pulihnya secara perlahan — bukan paksaan. Masih sama dengan pengalaman pertamaku saat membaca Norwegian Wood, rasanya seperti aku sedang menengok kembali perasaan-perasaan yang mungkin tersimpan di dalam diriku dan pelan-pelan mulai memudar. Tapi, ia tetap berada di sana — menjadi bagian dari diriku. Mungkin benar seperti apa kata Naoko, aku hanya telah terbiasa dengan kemiringan itu.

Oh, aku juga hampir saja melupakan bagian Reiko-san, seorang pasien yang sudah lebih lama berada di Asrama Ami, sekaligus menjadi pengawas Naoko dan satu kamar dengannya. Di usianya yang hampir 40, Reiko-san menjadi pribadi yang sangat bijaksana dan tenang dalam bertutur, katanya begini,

Emosi harus ditumpahkan. Karena kalau tidak, ia akan bertumpuk di dalam tubuh dan mengeras. Berbagai macam emosi akan mengeras dan akhirnya akan mati di dalam tubuh. Repot malah nanti.

Reiko-san pernah bilang kepada Watanabe, masalah yang dihadapi Naoko itu sangat kompleks, berbelit-belit bagai tali kusut dan untuk mengurainya satu demi satu sangat sulit. Bisa kembali lurus asal jangan tergesa-gesa, tidak boleh putus asa atau memaksakan diri untuk meluruskannya secara paksa dengan amarah. Ia juga pernah menasihati Watanabe yang saat itu melampiaskan rasa sakitnya (karena Naoko tidak mencintainya) melalui tidur dengan perempuan-perempuan. Reiko-san mengingatkan agar Watanabe berhati-hati dengan apa yang akan ia lakukan dalam hidupnya. Karena menurutnya, usia 19 dan 20 merupakan masa-masa penting bagi pematangan kepribadian. Jika di masa itu berbuat yang tidak-tidak, di masa tua akan menderita. Tapi, ia tidak memaksakan pendapatnya pada Watanabe, “Kalau kamu pikir itu bagus (tidur dengan perempuan), ya tak apa-apa. Itu cara hidupmu, kamu bisa memutuskannya sendiri.

Terlepas dari obsesinya pada tubuh perempuan, Murakami memahami beberapa sisi pada perempuan. Beberapa kali Murakami menuliskan perihal perempuan yang sedang menstruasi. Ia paham betul, saat melewati fase tersebut, maka perempuan cenderung memiliki mood yang tidak stabil dan uring-uringan. Juga ketika ia menggambarkan dengan jelas bagaimana korban kekerasan seksual memandang dirinya. Mereka yang menjadi korban, akan benci pada bagian tubuh yang tersentuh tanpa seizinnya.

Kembali menelusuri isi kepala Watanabe dan Nagasawa-san. Mereka bisa berteman karena memiliki kemiripan — mereka tidak berpikir untuk dimengerti orang lain. Mereka tidak berusaha keras agar orang lain memahami mereka. “Aku adalah aku, orang lain adalah orang lain.” Tapi, ada sedikit perbedaan dengan Watanabe, bagi Watanabe yang penting berusaha untuk saling memahami terlebih dahulu. Hanya saja kalau ujungnya tetap tak bisa dipahami, ya apa boleh buat — ia tidak bisa memaksakan orang lain untuk sepemahaman dengannya. Bagiku pribadi, memang perlu untuk mengenali diri sendiri agar tidak mudah terbawa arus karena jeratan pendapat orang lain yang belum tentu benar.

Aku pikir-pikir, seru juga ya kehidupan jaman dulu ketika masih belum ada gawai. Ada banyak hal yang bisa dilakukan daripada hanya duduk dan scrolling media sosial tanpa mindfullness. Seperti Nagasawa-san, di waktu senggang ia mempelajari berbagai bahasa asing — prancis, spanyol, jerman, inggris, dan italia. Katanya, semakin banyak kita mempelajari bahasa akan banyak gunanya. Tidak heran ia bisa begitu, karena menurut Nagawasa-san usaha itu merupakan sesuatu yang punya tujuan dan dilakukan dengan daya juang tinggi. Dan jangan cepat berpuas diri.

Sebelum ada gawai, orang-orang berkomunikasi melalui surat. Mereka berhati-hati dalam menulis dan menyampaikan isi pikirannya. Kadang-kadang butuh waktu beberapa hari untuk memberi jawaban terbaik. Surat-menyurat ini sering dilakukan oleh Watanabe kepada Naoko. Dalam pandangan Watanabe, “Dengan menulis itu seakan-akan aku menyusun kembali kehidupan yang hampir hancur berantakan.” Ia berbicara seperti itu karena kondisi Naoko yang semakin memburuk. Kemudian ia menerima surat balasan, tetapi Reiko-san yang menulisnya. Isi suratnya cukup menenangkan,

Dalam kondisi tanpa harapan sedikitpun, pasti di situ ada jalan keluarnya. Jika di sekitar kita gelap gulita, tak ada cara lain kecuali menunggu sejenak agar mata kita terbiasa dengan kegelapan itu.

Betapapun kita melakukan yang terbaik, seseorang kalau sudah waktunya terluka, akan terluka juga. Itulah hidup.

Sepeninggal Naoko, Watanabe masih terus mengingatnya. Naoko punya ruang khusus di hati Watanabe. Baginya mencintai Naoko memberi perasaan tenang, lembut, dan murni. Sedangkan untuk Midori, baginya, cinta itu seperti hidup; berdiri, berjalan, dan bernapas.

Naoko sudah pergi, tapi ada sisa-sisa perasaan Watanabe yang masih merasa bersalah untuk menerima Midori. Sampai Reiko-san menegurnya, “Kamu kadang-kadang terlalu memaksakan diri untuk menarik kehidupan ke dalam caramu sendiri.” Reiko-san memandang hidup seperti naik sampan, kalau bebannya terlalu berat, nanti akan tenggelam. Jadi biarkan saja mengalir.

Setelah melewati kematian Kizuki dan Naoko, Watanabe memahami suatu teori;

Kematian bukanlah lawan kehidupan, tetapi ada sebagai bagiannya.

--

--