Beberapa bulan lalu berhasil menamatkan film Kembang Api yang disutradarai oleh Herwin Novianto. Ada satu falsafah jawa menarik pada bola kembang api bertuliskan Urip iku urup. Tulisan ini memiliki terjemahan hidup itu menyala, artinya bahwa hidup ini harus bisa bermanfaat untuk orang lain. Makna kalimat tersebut mengingatkanku pada pengalaman berharga dalam hidup yang sempat aku sedikit mengeluh saat menjalaninya dahulu.
Memiliki seorang Bapak yang ingin anak-anaknya memiliki fondasi ilmu agama sebagai bekal menjalani hidupnya kelak, mengharuskanku sekolah madrasah dari siang hingga sore hari menjelang maghrib. Saat itu aku sedikit mengeluh karena waktu tidur siangku terganggu. Sepulang sekolah aku harus menghafalkan hadits dan ayat Al-Qur’an untuk setoran hafalan atau belajar untuk THT (Tes Hasil Ta’lim).
Mungkin bisa saja saat itu aku tidak bersikeras untuk menghafalkan, tetapi ada konsekuensi yang harus diterima — tangan disabet pakai kayu rotan sebanyak ayat yang tidak terlafalkan. Sebagai seorang anak kecil yang penakut, aku memilih untuk menyita waktu tidur siang, alih-alih pulang ke rumah dengan tangan memar bekas hasil sabetan. Tetapi semua itu tentu tidak berjalan mulus seperti yang dibayangkan, kapasitas otakku yang terbatas terkadang mengharuskanku untuk lebih memilih tidur siang sehingga aku melupakan hafalanku.
Konsekuensinya? Yap, aku berhasil mendapatkan layangan sabetan rotan mengenai telapak tanganku sebanyak 40 kali kanan-kiri. Anehnya, aku sama sekali tidak merasa marah perihal ini, sadar betul bahwa keputusan yang aku pilih dengan gegabah membuatku harus menerima konsekuensi yang telah disepakati diawal. Ah, mungkin inilah maksud Bapak menyekolahkanku di tempat tersebut — banyak pelajaran yang berhasil membentuk seperti aku yang sekarang ini.
Terlepas mendapat hukuman berupa sabetan rotan, lebih banyak hukuman berfaedah yang diberikan guru-guruku untuk menjadikan muridnya lebih baik. Seperti menulis kalimat istighfar 3000 kali dalam waktu sehari, atau membaca sholawat 3000 kali dalam waktu sehari. Satu hal yang menyentuh dari hukuman ini ketika beliau-beliau ini mengucap “Saya tidak tahu apakah kalian jujur atau tidak, tapi ingat Allah saksinya.” Kalimat menohok ini yang berusaha terus aku bawa dalam setiap pilihan hidup yang sedang aku jalani.
Balik lagi pada falsafah jawa urip iku urup yang mengingatanku pada ustadz dan ustadzah di tempatku menempa ilmu. Belakangan setelah memasuki usia dewasa, aku baru mengetahui bahwa bayaran mereka mungkin tidak seberapa di sana, tetapi niat mereka untuk berbagi ilmu demi kebermanfaatan umat jauh lebih kuat dibanding nominal angka perkara duniawi. Bergetar hatiku melihat kebesaran hati semacam itu.
Aku pernah diajarkan bagaimana cara mencintai guru kita. Bisa dengan menjaga nama baik mereka melalui perbuatan, perkataan, maupun melalui tulisan. Hatiku tergerak untuk mengenang mereka melalui tulisan ini.
Banyak ustadz yang menjadi favoritku — ustadz Badar dengan pembawaannya yang santai dan penuh lelucon ketika mengajar, ustadz Amak yang terbilang cukup keras tapi dengan tujuan untuk mendisiplinkan dan membentuk integritas murid-muridnya, ustadz Novel yang penuh demokrasi sebagai kepala madrasah, ustadz Luthfi yang sangat lembut dalam penyampaiannya, dan beliau-beliau ini sudah meninggalkan dunia terlebih dahulu. Inna lillahi wainna ilaihi roji’un.. insha Allah surga sudah menanti mereka.
Salah satu hal yang behasil membuatku betah selama menjalani prosesnya karena memiliki teman sebangku yang bisa diajak menertawakan segala apapun yang terjadi di kehidupan kita masing-masing. Lucunya, kadang kami bersepakat untuk tidak hadir kelas di suatu hari — bagian ini jangan ditiru. Ustadz Amak sampai mengenal kami yang sering kemana-mana berdua. Sampai aku menolak untuk mengambil tawaran kelas akselerasi karena tidak mau berpisah dengan teman sebangku, sekaligus orang yang membuat hari-hari terasa ringan menjalaninya.
Pernah suatu waktu kami dipercaya untuk menilai hafalan siswi yang lain, padahal beliau ini terkenal sangat strict perihal setoran hafalan. Beliau juga sering menasihati kami dengan caranya yang menggetarkan jiwa. Ah, betapa rindunya mendapatkan ilmu secara langsung dari beliau. Momen-momen terakhir saat diajarkan beliau adalah menghimbau para muridnya untuk menghafal hadits Arba’in nawawi sebagai salah satu syarat kelulusan. Sampai saat ini ada salah satu terjemahan hadits yang masih sangat melekat dan sering sebagai bahan refleksi untuk diri sendiri.
Kalimat dengan highlight merah muda tersebut memiliki arti yang sangat menyentuh, “…Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Sebagai catatan, hadits ini merupakan salah satu landasan pokok dalam syari’at. Abu Daud berkata, “Islam itu berkisar pada empat hadits,” kemudian dia menyebutkan hadits ini salah satunya. Hadits ini memiliki kandungan untuk memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik. Karena baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.
Diskusi beberapa tahun lalu dengan sahabat-sahabatku di organisasi mengenai penggunaan sosial media yang terkadang membuat beberapa orang iri hati melihat kebahagiaan orang lain, berhasil membuatku untuk menghapus sosial media pribadi berkali-kali karena takut salah bertindak, takut salah berprasangka, dan keburukan-keburukan lainnya, sehingga aku memutuskan untuk menata kembali hati terlebih dahulu agar tidak tersesat di tengah jalan.
Pelajaran penting yang bisa aku petik bahwa merawat dan menata hati selaiknya melatih olah fisik, butuh kesabaran dan kemauan untuk berkomitmen terus-menerus. Tentu dalam menjalankan prosesnya ada naik turun, karena begitulah iman manusia, lemah sekali untuk terhasut hal-hal yang buruk, dan secara saintifik pun manusia memiliki kecenderungan untuk lebih menangkap hal-hal negatif. Sehingga penting sekali untuk menjadikannya memandang segala sesuatunya kepada kebaikan, dan aku masih terus belajar di proses ini.
Bapak pernah mengingatkan, iman itu letaknya di hati dan tidak ada satu pun manusia yang bisa menilai isi hati kita kecuali Allah. Kemudian Bapak menambahkan, agar kita ikut tulus berbahagia melihat kebahagiaan orang lain, cukup dengan berucap “Alhamdulillah si Fulan membeli mobil baru, semoga berkah dan dilimpahkan kebaikan atas rejekinya.” Pesan ini mengingatkanku pada isi kitab Aunul Ma’bud IV/275–276 “Do’a seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dido’akannya adalah do’a yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada Malaikat yang menjadi wakil baginya. Setiap kali dia berdo’a untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka Malaikat tersebut berkata: ‘Aamiin dan engkau pun mendapatkan apa yang ia dapatkan.’” Oh, betapa damainya hidup untuk bisa saling memeluk melalui sebuah do’a.
Seperti dawuh Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, "Jangan kau iri kepada seorang pun atas sebuah nikmat, karena kau tidak tahu apa yang akan Allah ambil darinya, dan jangan bersedih atas sebuah musibah, sebab kau tidak tahu apa yang Allah hadiahkan untukmu. Maka selalu ucapkan Alhamdulillah."
Semoga aku, kamu, kita bisa selalu merasa cukup atas apapun yang telah, sedang, dan akan dilewati, karena semua kejadian tidak akan pernah luput atas izin-Nya. Wallahu a’lam bisshowab..
Selamat menyalakan kebermanfaatan untuk diri sendiri dan sekeliling, sekecil apapun itu jangan pernah meremehkan🤗