Malam datang menepis sinar terik yang hampir seharian.
Bangku taman tempat biasa berdiskusi basah oleh embun; sepi.
Memori masih merekam kalimat yang hingga saat ini (masih) menghujam.
Aku jatuh cinta, tapi takut kalau ternyata tidak bisa memilikimu seutuhnya, bagaimana?
Kalau ternyata juga tak terbalas, bagaimana?
Kalau nantinya patah, bagaimana?
Oh, hey!
Kau memang suka memberi kejutan.
Ternyata berdiskusi hampir sepanjang waktu, tidak cukup memahami apa yang menjadi 'isi' dalam kepalamu.
Kau memang keras kepala dengan pola pikirmu sendiri; aku juga.
Memilih pergi tanpa penjelasan sepatah kata pun menjadi pilihan.
Tapi, rasanya kepala ini selalu dikelilingi kalimat menyebalkan itu.
Ingin sekali rasanya menjadi tidak keras dan menjawab semua;
Itu bukan cinta, sayang. Bagiku, bukan hanya soal memiliki. Apalagi seutuhnya.
Sampai kapan pun rasa takut akan selalu ada; menjadi bagian dari manusia. Tapi, terlalu menerka dan khawatir dengan akhir cerita, bukankah telah menyalahi skenario Tuhan?
Pengecut rasanya bagi orang-orang yang mengatasnamakan cinta atas rasa patah!?
Ingin sekali meluap amarah; terlampau kecewa.
Tapi, aku malu saat dipandang oleh bulan yang sabitnya terlihat merekah.
Pada akhirnya, aku juga pengecut dan (hampir) menyerah.
(mungkin) harus selesai dengan diri masing-masing terlebih dulu.
Sampai kapan, tapi?