Malam ini jalanan terlihat sangat ramai oleh lalu lintas kendaraan. Kepulan helaan mesin yang letih berhembus menyatu bergumul dengan sisa napas beraroma bara menciptakan hawa panas. Meski begitu, orang-orang tetap ramai menelusuri trotoar sembari menyeruput minuman saat tengah berjalan. Dalam kondisi terabaikan, ada organ-organ sedang kesusahan mencerna apa yang baru saja masuk ke dalam tubuhnya.
Kakiku terus melaju sembari memerhatikan kondisi sekeliling. Mataku tak sengaja mengamati seorang Bapak sedang berfoto bersama istrinya yang sedang menggendong bayi, di sela-sela jarinya terapit dedaun yang terbakar pelan. Miris sekali pemandangan menelisik hati yang hampir digerogoti hal-hal fana.
Sepasang bola mataku menikam sepi lekat-lekat menggali makna dari yang terlihat. Jalanan tampak padat merekam dunia lewat bingkai cerita dari satu sudut pandang keramaian. Di perempatan, aku menyaksikan tarian imaji di bawah kerlap-kerlip cahaya lampu. Raut dan gesturnya seolah mengurai sunyi yang bercerita melalui panggung miliknya. Setiap satu hembusan napasnya berusaha memeluk keheningan yang bersembunyi di balik tawa senyap tak bersuara.
Di atas roda tua yang tak lagi mengayuh, ia berdiri menjulang tinggi. Dalam hiruk pikuk tak berkesudahan, tubuhnya kaku menggantungkan nasibnya di atas panggung, menciptakan jeda dalam hiruk pikuk. Sepasang bola mata itu berbinar menyalakan api. Diam-diam ada sepotong rasa syukur yang ia bawa pulang. Sekantong pertanyaan memenuhi isi pikirannya, "Di sudut mana lagi keadilan bisa kutemukan?"