Museum Kegagalan

Sebuah ruang berisi jejeran peninggalan segala bentuk apa-apa yang tidak sesuai rencana

Zee
3 min readOct 27, 2024
Picture by Agrima on Pinterest

Aku diperkosa oleh angan-anganku sendiri

Begitu bunyi bait pertama saat aku mencoba memasuki ruangan gelap pekat bagai tanpa setitik cahaya sama sekali. Aku mencoba menelusuri lorong sunyi itu dengan berbekal insting sembari meraba-raba menuju sekat-sekat berikutnya.

Segerombol orang menari bersorak gembira di pojok ruangan menyaksikan potongan-potongan asa yang remuk tak beraturan. Seolah-olah mereka saling menertawakan duka milik masing-masing. Kenangan itu menggema dalam ingatan membentuk sebuah lelucon yang sama sekali belum pernah mereka dengar.

Ribuan hal-hal kecil yang dulu terasa sepele, berhasil menemukan maknanya setelah menerjang duka pengharapan. Aku terus menelusuri lorong-lorong sunyi tiada bising sedikitpun, hanya ada suara krucuk krucuk perut kelaparan yang entah dari mana asalnya. Muncul pertanyaan dalam benakku, Siapakah yang menentukan sekatan waktu seolah semua hal punya timer-nya sendiri?

Tidak ada jawaban. Ruang ini terlalu sunyi bagiku. Perjalanan sunyi yang kadang-kadang bising lemparan kata-kata pedas bagai sebuah pesanan nasi goreng terikat dua karet. Selalu ada pembeda pada setiap apa-apa yang tidak bisa ditoleransi pikiran. Kemudian langkahku terhenti ketika aroma bunga mulai tercium semerbak mengisi ruang yang semula terasa mati. Aku melihat potret dalam bingkai kaca; ada lukisan tubuhku yang tampak lesu sedang mengeruk tanah, memasukkan pupuk, dan menebarkan benih entah apa itu. Tempat itu persis seperti pijakan kakiku saat ini berada. Muncul pertanyaan berikutnya, Tempat yang sama kah ini?

Kalau benar— apakah artinya aku telah menuai segala bentuk sebaran benih yang dulu aku tanam dengan penuh keraguan? Tenanglah, jangan tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu yang hanya kamu ketahui dasar permukaannya. Tetapi, kini ke mana perginya gerombolan orang-orang tadi? Suaranya sudah tidak lagi mengganggu perjalananku, teriakannya tidak lagi memengaruhi setiap keputusanku, ke mana mereka?

Sembari bertanya-tanya dengan berbekal sisa makanan semalam, aku terus menguatkan langkah kaki menuju pemberhentian selanjutnya. “Apa aku harus berlari?” Ah, tapi untuk apa aku menuruti keinginan yang sebetulnya tidak sesuai dengan ritme-ku sendiri. Hanya akan terasa ngos-ngosan.

Sementara aku terus berjalan, kanan-kiri dipenuhi orang sedang membaca situasi. Berbeda halnya denganku, kali ini aku sengaja melupakan peta yang terlipat rapi di dalam ransel dalam upaya lebih menikmati setiap langkah aku menemukan. Sesekali aku memercayai kucing yang lewat seolah memberiku petunjuk ke mana aku harus terus berjalan lurus, berbelok atau membiarkanku memilih ke manapun aku mau menuju. Makhluk kecil itu seolah paham apa yang paling aku butuhkan saat ini.

Dalam kegelapan itu, mulai terdengar kicauan burung-burung. Membuat keyakinanku untuk melihat seberkas cahaya semakin menguat. Aku mulai mengencangkan sabuk pengaman, kali-kali ada suara guntur yang tiba-tiba mampir sebentar. Bukankah lebih baik mempersiapkan segala hal yang belum kita ketahui pasti kondisinya? Tapi, barangkali sesuatu yang pasti itu tidak akan pernah benar-benar kita temui. Yang tersisa hanyalah bekal-bekal persiapan dan keberanian untuk terus melangkah. Kalau menurutmu bagaimana?

Pilar-pilar kehidupan kembali aku susun dalam ingatan. Karena terakhir aku tulis dalam sebuah catatan, ada yang sengaja merobeknya. Entah apa tujuannya — apakah agar aku marah? Atau ingin melihatku kehilangan arah? Salah besar mereka. Padahal kepingan-kepingan dalam diriku yang dulu tercerai-berai sudah berhasil aku susun sesuai porsinya. Kasian sekali mereka, batinku.

Mereka yang memberi perhatian lebih besar pada derita, hanya akan menemui penderitaan yang jauh lebih menggoyahkan pijakannya. Sangat jelas berbeda dengan mereka yang mau mengambil satu atau dua pelajaran dari setiap kemelaratan yang mencoba mampir dalam hidupnya, akan lebih bijaksana untuk mengisi kotak bekal melanjutkan perjalanan selanjutnya — menentukan segala arah dalam mengambil keputusan.

Ini tidak adil.” Mereka ramai-ramai menuntut hak yang seharusnya diperoleh. Tapi, bagaimana bisa dengan mudah didapatkan kalau masih banyak sekali perampasan dimana-mana? Satu hal yang aku salut — kobaran api semangat dalam jiwanya sudah melekat. Sehingga tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya.

Sampai pemberhentian terakhir, aku berhasil kembali menemukan mereka yang mau menemaniku berkeliling santai mencari arah pintu keluar dari museum kegagalan.

--

--

Zee
Zee

Written by Zee

I captured each moment through the art of writing

No responses yet