Labeling merupakan hal yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari — kita memberi label pada banyak hal, seperti makanan, pakaian, bahkan manusia. Sebagai makhluk sosial yang dinamis seharusnya manusia terlepas dari atribut label yang orang lain sematkan untuk dirinya, khususnya sejak masih kanak-kanak. Anak-anak biasanya dipengaruhi oleh asosiasi dan interaksi 3 kelompok sosial: 1) Teman-temannya, 2) Guru-gurunya, dan 3) Anggota keluarganya.
Beberapa peneliti berspekulasi bahwa labeling dapat mempengaruhi anak secara negatif, karena biasanya label tersebut seringkali direspon negatif oleh orang-orang sekitar mereka. Lebih daripada itu, labeling bisa membentuk self-concept pada anak, juga mempengaruhi interaksi mereka dengan teman, orang tua, keluarga, dan guru.
Teori mengenai labeling pertama kali dikembangkan oleh Howard Becker pada Tahun 1963, hasil temuannya menunjukkan adanya efek negatif label pada orang yang dilabeli. Umumnya, label pada seseorang diberikan berdasarkan variasi sosial dan fitur biologi, seperti usia, gender, etnis, agama, ras, pekerjaan, penampilan, dan lain-lainnya. Label tersebut terbentuk dari norma sosial yang didapatkan dari hasil interaksi antar manusia.
Orang tua merupakan elemen utama yang paling dekat interaksinya dengan anak, sering tanpa sengaja memberi label pada anak mereka. Seringnya, label tersebut digunakan untuk mendeskripsikan karakter, sikap, atau penampilan si anak. Para orang dewasa ini secara tidak sadar sering lupa bahwa anak-anak merupakan seorang pendengar yang hebat, sehingga label bisa sangat mempengaruhi bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri.
Masa pertumbuhan anak-anak memang banyak diisi dengan rasa penasaran dan penuh eksplorasi. Sehingga, hanya karena seorang anak berperilaku suatu tindakan, bukan berarti mereka harus mendapatkan label yang tidak baik. Salah satu contoh paling gampang adalah ketika seorang anak sedang rewel untuk makan, lantas orang dewasa memberinya label “Oh, she is a picky eater,” maka kemudian anak tersebut berkemungkinan besar akan menjadi picky eater seiring usianya bertambah hanya karena sering mendengar orang dewasa sekitarnya sering melontarkan label tersebut. Padahal, secara biologis anak-anak itu bertumbuh, berkembang, dan berubah dengan potensi yang tiada habisnya. Penting sekali untuk tidak menghilangkan potensi-potensi tersebut dengan terbiasa memberi mereka label yang buruk atau menyakitkan.
Yaebin Kim dan Heidi telah melakukan riset penelitian melalui peer reviewed mengenai efek yang ditimbulkan dari labeling pada Tahun 2019. Hasil temuan tersebut menyebutkan bahwa terdapat beberapa dampak berbahaya dari labeling:
- Labeling memberi efek bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri: Cara orang dewasa memberi label pada anak kecil akan membekas dalam pikiran mereka untuk melihat siapa dirinya. Mereka akan melihat label tersebut sebagai identitas karena labeling sering memberi kerusakan alih-alih kebaikan ketika seorang anak tersebut diletakkan dalam sebuah ‘kotak’.
- Labeling berpengaruh terhadap bagaimana anak kecil diperlakukan: Hal ini tidak hanya mempengaruhi bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri, tetapi juga berpengaruh terhadap bagaimana orang-orang memperlakukan mereka yang pada akhirnya akan berdampak pada who they are becoming. Misalnya, seorang anak yang diberi label troublemaker akan menyusahkan orang tua mereka untuk menunjukkan empati dan usaha dalam memperbaiki perilaku anak tersebut. Temuan yang sama juga ditunjukkan di Tahun 1965, dimana label negatif dan positif mampu merubah bagaimana guru bersikap terhadap siswanya.
- Labeling membatasi potensi anak-anak: Sekalipun label yang diberikan bukan yang bermakna negatif, seperti pemalu, baik, atletis, atau kreatif. Hal-hal tersebut juga tetap mempengaruhi dan dapat membatasi potensi seorang anak, karena anak-anak adalah masa dimana mereka suka eksplorasi dan mencoba berbagai aktivitas. Sehingga, ketika seorang anak belajar bahwa anything is possible, mereka lebih bertanggung jawab untuk mengambil risiko dan bekerja lebih keras.
Penting sekali sebagai orang dewasa yang bisa menggunakan nalar secara lebih bijaksana untuk menghindari membatasi potensi anak-anak dengan memberinya label, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Karena setiap individu dilahirkan dengan keunikannya masing-masing yang terlepas dari atribut label apapun.
Salah satu cara untuk menghindari labeling tersebut dengan melatih diri sendiri untuk memilah-milah kata-kata yang baik, seperti mengganti kosa kata label tersebut menjadi kalimat-kalimat penuh dukungan. Sehingga perlu untuk reframing label itu sendiri. Alih-alih mengatakan “a kind child” atau “a helpful person” lebih baik menggantinya menjadi “you are being kind” atau “She was very helpful”.
Seperti banyak sekali fenomena orang dewasa melabeli seorang anak dengan sebutan pemalu, akan jauh lebih baik untuk menggantinya dengan kalimat “Gapapa, mungkin membutuhkan sedikit waktu untuk kamu bisa merasa nyaman beradaptasi dengan orang baru. Just take your time.” Maka hal tersebut akan lebih memberi seorang anak motivasi untuk percaya bahwa dirinya lebih dari sekadar label yang ia terima dari orang-orang sekitarnya.