Menangani Dampak Fatherless dan Mendorong Kesetaraan Gender di Lingkungan Keluarga

Zee
13 min readSep 17, 2024

--

Tahun lalu, tepatnya pada tahun 2023, Indonesia menjadi bahan perbincangan hangat karena laporan yang menyebutkan negara ini menempati peringkat ketiga dunia sebagai fatherless country. Meskipun belum ada publikasi ilmiah resmi yang mendukung peringkat tersebut, topik ini tetap penting untuk dibahas sebagai bentuk kesadaran masyarakat.

Berdasarkan data dari National Center for Fathering, sekitar 24,7 juta anak di Indonesia (33%) hidup tanpa kehadiran ayah kandung. Selain itu, banyak anak lainnya memiliki ayah secara fisik, tetapi tidak mendapatkan kehadiran emosional dari mereka. Ketiadaan peran ayah ini perlu mendapat perhatian serius sebagai keadaan darurat nasional. Survei KPAI (2015) menunjukkan bahwa kurang dari 40% ayah mencari informasi tentang pengasuhan yang baik, dan hanya 69,9% ayah yang terlibat dalam pengasuhan pada fase awal kehidupan anak. Beberapa kampanye seperti “Indonesia Darurat Ayah” telah digelar sebagai panggilan untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.

Namun, masalah ini tidak hanya menjadi tanggung jawab ayah semata. Buku Engaged Fatherhood for Men, Families and Gender Equality, yang disunting oleh Marc Grau Grau, Mireia las Heras Maestro, dan Hannah Riley Bowles, membahas peran penting ayah yang aktif dalam keluarga dan kontribusinya terhadap kesetaraan gender di masyarakat. Buku ini mengeksplorasi bagaimana keterlibatan ayah yang lebih mendalam dalam pengasuhan memberikan dampak positif pada anak-anak dan keluarga, serta implikasinya terhadap kebijakan sosial dan tempat kerja. Dengan menggunakan penelitian dan studi kasus, buku ini menekankan bahwa keterlibatan ayah tidak hanya menguntungkan keluarga tetapi juga mendukung keseimbangan kerja-keluarga dan kesetaraan gender yang lebih luas.

Berikut beberapa poin menarik dari buku tersebut yang akan saya rangkum dalam artikel ini:

The Role of Fathers in Child and Family Health

Bab ini ditulis oleh Michael W. Yogman dan Amelia M. Eppel yang menyoroti peran penting ayah dalam mendukung kesehatan dan perkembangan anak, serta kesejahteraan keluarga secara keseluruhan.

  1. Peran Ayah dalam Kesehatan Anak: Bab ini menyatakan bahwa keterlibatan ayah secara langsung sejak dini berpengaruh pada perkembangan otak dan keterampilan sosial anak. Studi menunjukkan bahwa ayah yang terlibat dalam pengasuhan dapat membantu mengurangi risiko masalah kesehatan mental pada anak, seperti depresi dan kecemasan, serta meningkatkan prestasi akademik dan kepercayaan diri.
  2. Keseimbangan Peran Ibu dan Ayah: Penulis menekankan bahwa keterlibatan ayah tidak harus bersifat pengganti peran ibu, melainkan bersifat komplementer. Kombinasi dari peran pengasuhan ibu dan ayah menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan mendukung bagi anak. Ayah seringkali membawa dinamika unik dalam pengasuhan, seperti mendorong anak-anak untuk mengambil risiko yang lebih terukur dan mengembangkan keterampilan problem-solving.
  3. Efek Keterlibatan Ayah pada Keluarga: Keterlibatan ayah tidak hanya berdampak positif pada anak, tetapi juga memperkuat hubungan dalam keluarga. Penulis menekankan bahwa ayah yang terlibat secara aktif sering membantu menciptakan hubungan yang lebih setara dalam rumah tangga, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan emosional seluruh anggota keluarga. Mereka juga mencatat bahwa pembagian tanggung jawab yang lebih adil di rumah dapat mengurangi stres bagi kedua orang tua dan mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga.
  4. Faktor Sosial dan Budaya yang Mempengaruhi Keterlibatan Ayah: Bab ini juga mengakui bahwa meskipun peran ayah dalam pengasuhan semakin diakui, masih ada hambatan budaya, sosial, dan ekonomi yang membatasi keterlibatan ayah. Penulis mencatat pentingnya perubahan kebijakan dan norma sosial untuk mendorong partisipasi ayah yang lebih besar dalam pengasuhan anak. Ini termasuk kebijakan cuti ayah yang lebih baik dan dukungan dari tempat kerja untuk memastikan ayah memiliki fleksibilitas yang sama seperti ibu dalam menjalankan tanggung jawab keluarga.
  5. Pentingnya Ayah dalam Perkembangan Emosi Anak: Yogman dan Eppel menekankan bahwa peran emosional ayah dalam mendukung anak sangat vital. Ayah yang terlibat dapat membantu anak-anak mengembangkan kemampuan mengelola emosi, mengekspresikan perasaan mereka secara sehat, dan membangun hubungan sosial yang positif. Kehadiran emosional ayah membantu anak-anak merasa aman dan dicintai, yang merupakan fondasi penting bagi kesehatan mental mereka.

The Impact of Father’s Health on Reproductive and Infant Health and Development

Bab ini ditulis oleh Milton Kotelchuck membahas peran penting kesehatan ayah dalam mempengaruhi kesehatan reproduksi, perkembangan bayi, dan kesejahteraan anak.

  1. Kesehatan Ayah Sebelum Konsepsi: Kotelchuck menjelaskan bahwa kesehatan fisik dan mental ayah sebelum konsepsi memiliki dampak langsung pada hasil kesehatan ibu, janin, dan bayi. Meskipun fokus utama dalam kesehatan reproduksi sering kali ditempatkan pada ibu, penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti kesehatan sperma, gaya hidup, usia, dan kondisi kesehatan ayah sebelum konsepsi dapat memengaruhi kemungkinan terjadinya komplikasi kehamilan serta risiko kelainan bawaan pada bayi. Kebiasaan seperti merokok, konsumsi alkohol, pola makan yang buruk, serta paparan bahan kimia berbahaya juga dapat memengaruhi kualitas sperma dan hasil kesehatan bayi.
  2. Kontribusi Kesehatan Ayah Terhadap Kehamilan: Kesehatan ayah selama kehamilan pasangan juga penting. Kotelchuck menunjukkan bahwa dukungan emosional dan fisik yang diberikan oleh ayah kepada ibu hamil memainkan peran kunci dalam mengurangi stres ibu selama kehamilan, yang dapat berdampak positif pada perkembangan janin. Selain itu, ayah yang memiliki kondisi kesehatan yang stabil juga lebih mampu mendukung pasangan mereka selama proses kehamilan, baik dalam hal dukungan fisik maupun finansial.
  3. Dampak Kesehatan Mental Ayah: Kondisi kesehatan mental ayah, seperti depresi atau kecemasan, dapat memengaruhi kesehatan anak. Kotelchuck menguraikan bahwa ayah yang mengalami gangguan kesehatan mental sebelum dan selama kehamilan pasangan mereka cenderung memberikan kontribusi negatif terhadap lingkungan rumah tangga, yang dapat mempengaruhi kesehatan emosional dan perkembangan anak setelah lahir. Pentingnya deteksi dini dan penanganan masalah kesehatan mental pada ayah diuraikan sebagai bagian dari strategi kesehatan keluarga yang holistik.
  4. Kesehatan Ayah Setelah Bayi Lahir: Kesehatan fisik dan mental ayah pasca kelahiran juga memengaruhi perkembangan anak dan kesehatan keluarga secara keseluruhan. Kotelchuck menyoroti bahwa ayah yang sehat lebih mungkin untuk terlibat secara aktif dalam perawatan bayi, seperti memegang bayi, mengajak bermain, dan berinteraksi secara emosional. Keterlibatan ini sangat penting untuk perkembangan sosial dan emosional anak. Ayah yang terlibat juga dapat mengurangi beban pengasuhan yang dialami ibu, yang berdampak positif pada keseimbangan mental ibu dan kesehatan keluarga secara keseluruhan. Kesehatan fisik yang baik juga memungkinkan ayah untuk lebih terlibat dalam aktivitas fisik yang penting bagi perkembangan motorik dan sosial anak.
  5. Kebijakan dan Akses Kesehatan untuk Ayah: Kotelchuck menggarisbawahi pentingnya kebijakan kesehatan yang mencakup akses kesehatan bagi ayah, seperti pemeriksaan kesehatan reproduksi dan dukungan kesehatan mental, agar mereka dapat berperan aktif dalam kehidupan keluarga. Banyak sistem kesehatan saat ini belum sepenuhnya mengakui kebutuhan kesehatan ayah dalam konteks reproduksi dan pengasuhan. Ini menunjukkan perlunya perubahan kebijakan untuk menyediakan lebih banyak sumber daya dan layanan bagi kesehatan reproduksi ayah.

The Impact of Fatherhood on Men’s Health and Development

Bab ini ditulis oleh Milton Kotelchuck membahas bagaimana menjadi seorang ayah memengaruhi kesehatan fisik, mental, dan perkembangan pribadi seorang pria. Bab ini juga berfokus pada dampak timbal balik dari peran sebagai ayah terhadap kesejahteraan pria dan evolusi mereka sebagai individu, seiring dengan tanggung jawab pengasuhan yang diambil.

  1. Perubahan Kesehatan Fisik Setelah Menjadi Ayah: Kotelchuck menjelaskan bahwa peran ayah sering kali memengaruhi kesehatan fisik pria. Setelah menjadi ayah, banyak pria mengalami perubahan gaya hidup, seperti pengurangan waktu tidur, peningkatan tanggung jawab, dan tekanan yang dapat berdampak pada kesehatan fisik mereka. Meskipun ayah yang terlibat aktif dalam pengasuhan bisa mengalami peningkatan aktivitas fisik melalui kegiatan sehari-hari dengan anak, mereka juga mungkin lebih rentan terhadap masalah kesehatan terkait stres, seperti tekanan darah tinggi dan kelelahan kronis.
  2. Dampak Kesehatan Mental: Kesehatan mental pria sering kali dipengaruhi oleh pengalaman menjadi ayah. Bab ini menyoroti bahwa meskipun kebahagiaan menjadi ayah dapat memberikan manfaat psikologis yang positif, seperti peningkatan perasaan tanggung jawab dan tujuan hidup, banyak ayah juga berisiko mengalami masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan dan depresi, terutama di awal masa perannya sebagai ayah. Stres terkait keuangan, ketidaksiapan emosional, atau kurangnya dukungan sosial dapat memperparah kondisi ini. Oleh karena itu, Kotelchuck menekankan perlunya dukungan kesehatan mental yang lebih baik untuk pria yang baru menjadi ayah.
  3. Perubahan Perilaku Kesehatan: Menjadi ayah sering kali menjadi pemicu perubahan perilaku kesehatan. Banyak pria menjadi lebih sadar akan kesehatan mereka dan cenderung mengadopsi gaya hidup yang lebih sehat setelah memiliki anak. Ini termasuk mengurangi kebiasaan merokok, mengurangi konsumsi alkohol, dan lebih memperhatikan pola makan dan olahraga demi kesejahteraan mereka sendiri dan keluarganya. Kotelchuck menjelaskan bahwa peran sebagai ayah sering mendorong pria untuk memperbaiki perilaku kesehatan demi menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka.
  4. Pengembangan Keterampilan dan Identitas Pribadi: Ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak mengalami perkembangan pribadi yang signifikan. Bab ini menekankan bagaimana menjadi ayah memaksa pria untuk mengembangkan keterampilan baru, seperti empati, kesabaran, dan keterampilan mengasuh. Keterlibatan aktif dalam kehidupan anak-anak mereka dapat mengubah persepsi diri pria, membangun rasa percaya diri dalam peran pengasuhan, dan meningkatkan hubungan interpersonal dengan anggota keluarga lainnya. Pengalaman menjadi ayah juga memungkinkan pria untuk mengevaluasi kembali nilai-nilai dan prioritas hidup mereka. Banyak pria mengembangkan identitas baru sebagai ayah yang berperan penting dalam kehidupan anak-anak mereka, yang pada akhirnya memperkaya kehidupan pribadi mereka.
  5. Tantangan Kesetaraan Gender dan Beban Ganda: Kotelchuck juga membahas tantangan yang dihadapi pria saat mencoba menyeimbangkan peran sebagai ayah dengan tuntutan pekerjaan dan karier. Banyak pria merasa terjebak antara tanggung jawab sebagai pencari nafkah dan keinginan untuk terlibat lebih dalam pengasuhan anak. Hal ini sering kali menyebabkan stres tambahan dan konflik internal, terutama dalam masyarakat di mana kesetaraan gender dalam rumah tangga belum sepenuhnya tercapai. Kotelchuck menganjurkan pentingnya pembagian tugas pengasuhan yang lebih setara serta dukungan dari tempat kerja dalam bentuk kebijakan cuti ayah dan fleksibilitas kerja.
  6. Efek Jangka Panjang pada Perkembangan Pria: Pengalaman menjadi ayah memiliki dampak jangka panjang pada perkembangan pribadi pria. Kotelchuck menyoroti bahwa pria yang terlibat dalam pengasuhan anak cenderung mengalami peningkatan kesejahteraan emosional seiring waktu, serta memperkuat ikatan keluarga yang bermanfaat bagi kesehatan mereka di masa tua. Ayah yang aktif berpartisipasi dalam pengasuhan sering kali melaporkan kepuasan hidup yang lebih tinggi dan hubungan yang lebih kuat dengan anak-anak mereka di masa dewasa.

Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas, pada grafik di bawah ini mengilustrasikan konsep bagaimana berbagai faktor risiko dan faktor protektif memengaruhi keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan anak sepanjang hidupnya, serta dampaknya terhadap perkembangan mereka sebagai ayah yang peduli dan generatif.

(Source: Kotelchuck and Lu, 2017)

Downward arrows: Menunjukkan paparan terhadap faktor risiko yang cenderung menurunkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan.
Upward arrows: Menunjukkan paparan terhadap faktor pelindung yang cenderung meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan.

  • Risk factors (faktor risiko): Ini adalah kondisi atau situasi yang dapat menghalangi seorang pria untuk terlibat secara positif sebagai ayah. Misalnya, faktor risiko bisa berupa masalah kesehatan mental, kemiskinan, tekanan pekerjaan, atau kurangnya dukungan sosial.
  • Protective factors (faktor pelindung): Ini adalah hal-hal yang membantu atau mendukung keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Faktor ini bisa berupa dukungan dari pasangan, kebijakan kerja yang mendukung, pendidikan yang baik, atau kesehatan mental yang stabil.

Paparan terhadap faktor risiko dan faktor protektif ini terjadi sepanjang kehidupan seorang pria, yang berarti keterlibatannya sebagai ayah dipengaruhi oleh berbagai tahapan kehidupan. Misalnya, kondisi di masa kecil, pengalaman remaja, masa dewasa, hingga menjadi orang tua sendiri.

Secara keseluruhan, konsep ini menggambarkan bahwa keterlibatan seorang pria sebagai ayah dipengaruhi oleh keseimbangan antara faktor risiko dan pelindung yang ia alami sepanjang hidupnya. Jika seorang pria terpapar lebih banyak faktor risiko dan lebih sedikit faktor pelindung, maka keterlibatannya sebagai ayah mungkin lebih rendah (digambarkan oleh garis putus-putus). Sebaliknya, lebih banyak faktor pelindung dan lebih sedikit faktor risiko dapat menghasilkan keterlibatan yang lebih tinggi dan lebih positif dalam pengasuhan anak.

Bahasan selanjutnya, seperti yang sudah disebutkan di awal, bahwa faktor kebijakan publik juga mempengaruhi pengasuhan ayah terhadap anak yang akan dijelaskan lebih detail pada sub bab berikut:

Fathers and Family Leave Policies: What Public Policy Can Do to Support Families

Bab yang ditulis oleh Alison Koslowski dan Margaret O’Brien membahas bagaimana kebijakan cuti keluarga dapat mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan serta apa yang bisa dilakukan oleh kebijakan publik untuk mendukung peran ayah dalam keluarga dan meningkatkan kesetaraan gender. Bab ini berfokus pada pentingnya kebijakan cuti keluarga yang inklusif dan adil untuk memfasilitasi keterlibatan ayah yang lebih besar dalam kehidupan anak-anak dan dalam rumah tangga.

  1. Kebijakan Cuti Keluarga yang Ada Saat Ini: Bab ini memberikan gambaran tentang kebijakan cuti keluarga di berbagai negara, terutama menyoroti perbedaan besar dalam aksesibilitas, durasi, dan kompensasi yang ditawarkan oleh kebijakan cuti ayah di berbagai belahan dunia. Banyak negara yang sudah memiliki kebijakan cuti bagi ayah, namun kebijakan ini sering kali terbatas durasinya dan tidak selalu dengan kompensasi penuh, sehingga membatasi penggunaan cuti oleh ayah.
  2. Manfaat Cuti Keluarga bagi Ayah dan Keluarga: Koslowski dan O’Brien menjelaskan bahwa kebijakan cuti keluarga yang baik memungkinkan ayah untuk lebih terlibat secara aktif dalam kehidupan anak mereka sejak dini. Ini memiliki berbagai manfaat, baik bagi anak, ibu, maupun ayah itu sendiri. Manfaat ini termasuk peningkatan keterikatan emosional antara ayah dan anak, pengurangan beban pengasuhan bagi ibu, dan pembagian peran pengasuhan yang lebih setara di rumah.
  • Bagi anak: Keterlibatan ayah yang lebih tinggi di tahun-tahun awal kehidupan anak dikaitkan dengan hasil perkembangan yang lebih baik, termasuk keterampilan sosial, emosional, dan kognitif yang lebih baik.
  • Bagi ibu: Cuti ayah memungkinkan pembagian tanggung jawab yang lebih merata dalam rumah tangga, membantu mengurangi stres dan memberikan waktu kepada ibu untuk memulihkan diri pasca melahirkan atau kembali ke pekerjaan dengan lebih mudah.
  • Bagi ayah: Memanfaatkan cuti keluarga membantu ayah mengembangkan ikatan yang lebih kuat dengan anak-anak mereka, dan mempromosikan keseimbangan yang lebih baik antara pekerjaan dan kehidupan keluarga.

3. Hambatan dalam Penggunaan Cuti oleh Ayah: Bab ini juga membahas hambatan yang membuat banyak ayah tidak memanfaatkan cuti keluarga meskipun kebijakan tersebut ada. Beberapa hambatan ini termasuk:

  • Norma Sosial dan Budaya: Di banyak masyarakat, masih ada anggapan bahwa pengasuhan adalah tanggung jawab utama ibu, dan bahwa ayah seharusnya fokus pada pekerjaan. Tekanan sosial ini dapat membuat pria merasa enggan mengambil cuti pengasuhan karena takut dianggap kurang maskulin atau tidak berkomitmen pada pekerjaan.
  • Keuangan: Jika cuti ayah tidak dibayar penuh, banyak pria merasa tidak dapat secara finansial mendukung keluarganya jika mereka mengambil cuti.
  • Dukungan Tempat Kerja: Banyak tempat kerja tidak mendorong atau mendukung pria untuk mengambil cuti keluarga, baik melalui kebijakan internal yang terbatas atau melalui tekanan tidak langsung dari atasan atau rekan kerja.

Koslowski dan O’Brien menyoroti bahwa kebijakan cuti keluarga yang adil dan inklusif untuk ayah dapat menjadi alat penting untuk mencapai kesetaraan gender. Ketika ayah diberikan kesempatan dan dukungan untuk mengambil peran pengasuh yang lebih besar, ini membantu mengurangi beban yang tidak proporsional pada ibu dalam hal pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga. Hal ini juga dapat membantu mengubah norma-norma sosial terkait peran gender dalam rumah tangga dan masyarakat.

Maka dari itu, untuk memaksimalkan manfaat keterlibatan ayah dalam pengasuhan, penulis memberikan beberapa rekomendasi kebijakan publik:

  • Cuti Ayah yang Wajib dan Dibayar Penuh: Kebijakan yang memberikan cuti yang dibayar penuh bagi ayah dan mengharuskan mereka mengambil cuti ini dapat mendorong lebih banyak ayah untuk terlibat. Ini juga mengurangi stigma terhadap pria yang mengambil cuti pengasuhan.
  • Durasi Cuti yang Memadai: Cuti ayah harus cukup lama untuk memungkinkan ayah benar-benar terlibat dalam pengasuhan tanpa merasa terburu-buru untuk kembali bekerja.
  • Fleksibilitas dalam Pengambilan Cuti: Kebijakan cuti keluarga harus fleksibel, memungkinkan ayah untuk mengambil cuti di berbagai tahap kehidupan anak mereka, tidak hanya segera setelah kelahiran. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi keluarga untuk menyesuaikan cuti dengan kebutuhan mereka.
  • Perubahan Budaya Kerja: Selain kebijakan pemerintah, tempat kerja juga harus memainkan peran dalam mempromosikan dan mendukung cuti keluarga bagi ayah, misalnya dengan menciptakan lingkungan di mana mengambil cuti pengasuhan dianggap normal dan diterima.

Salah satu negara yang menerapkan konsep cuti tersebut adalah Norwegia. Selain pemandangan auroranya yang menarik, negara ini juga menerapkan konsep kesetaraan gender dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Photo by Joshua Harvey on Unsplash

Individual Parental Leave for Fathers: Promoting Gender Equality in Norway

Bab studi kasus ini ditulis oleh Elin Kvande membahas bagaimana kebijakan cuti orang tua individu bagi ayah di Norwegia telah menjadi instrumen penting dalam mempromosikan kesetaraan gender. Kebijakan ini dianggap inovatif dan progresif karena memungkinkan ayah untuk terlibat lebih aktif dalam pengasuhan anak, yang pada akhirnya mengubah dinamika keluarga dan peran gender di masyarakat Norwegia.

  1. Konteks Kebijakan Cuti Ayah di Norwegia: Norwegia dikenal sebagai salah satu negara yang paling maju dalam hal kesetaraan gender, terutama dalam penerapan kebijakan cuti orang tua. Kebijakan cuti ini memungkinkan ayah mengambil cuti yang dialokasikan khusus untuk mereka, yang dikenal sebagai father’s quota. Cuti ini tidak dapat dipindahtangankan kepada ibu, sehingga mendorong ayah untuk memanfaatkannya. Kvande menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mengatasi ketidakseimbangan gender dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga, serta membantu menciptakan hubungan yang lebih setara antara ayah dan ibu dalam keluarga.
  2. Father’s Quota: Inovasi dalam Kebijakan Publik: Father’s quota adalah bagian dari cuti orang tua yang secara khusus dialokasikan untuk ayah. Jika ayah tidak mengambil cuti ini, waktu cuti tersebut akan hilang dan tidak dapat diambil oleh ibu. Ini memberi insentif yang kuat bagi ayah untuk mengambil bagian aktif dalam pengasuhan anak, dan memastikan bahwa mereka memiliki waktu yang diperuntukkan bagi mereka untuk menghabiskan bersama anak-anak mereka tanpa takut kehilangan manfaat cuti. Kebijakan ini telah mengalami beberapa perubahan selama bertahun-tahun, seperti perpanjangan durasi cuti yang dialokasikan bagi ayah, serta peningkatan fleksibilitas dalam pengambilannya.
  3. Dampak Cuti Ayah terhadap Kesetaraan Gender: Kvande menjelaskan bahwa kebijakan cuti ayah di Norwegia telah berdampak signifikan terhadap kesetaraan gender di rumah dan di tempat kerja. Ketika ayah mengambil cuti untuk mengasuh anak, ini membantu mengurangi beban pengasuhan yang secara tradisional dibebankan pada ibu. Dengan berbagi tanggung jawab pengasuhan secara lebih merata, ibu juga memiliki kesempatan lebih besar untuk berpartisipasi dalam dunia kerja atau melanjutkan karir mereka tanpa harus berhenti atau mengambil waktu cuti yang lebih lama. Di samping itu, dengan ayah yang terlibat lebih besar dalam kehidupan anak-anak sejak dini, persepsi masyarakat tentang peran gender dalam rumah tangga mulai bergeser. Pengasuhan anak tidak lagi dianggap hanya sebagai “pekerjaan ibu,” melainkan sebagai tanggung jawab bersama.
  4. Perubahan dalam Dinamika Keluarga: Selain mempromosikan kesetaraan gender, kebijakan cuti ayah di Norwegia juga telah mengubah dinamika keluarga. Ayah yang mengambil cuti untuk mengasuh anak melaporkan ikatan emosional yang lebih kuat dengan anak-anak mereka. Hal ini juga membantu memperdalam peran ayah sebagai pengasuh, yang pada gilirannya memberikan dampak positif pada perkembangan anak, karena anak-anak mendapatkan pengasuhan yang seimbang dari kedua orang tua. Kvande juga mencatat bahwa dengan adanya cuti bagi ayah, banyak keluarga menjadi lebih fleksibel dalam membagi waktu antara pengasuhan dan pekerjaan. Keluarga di Norwegia telah belajar menyesuaikan peran tradisional dengan lebih setara, di mana kedua orang tua berbagi tanggung jawab domestik dan pekerjaan secara lebih adil.

Meskipun kebijakan ini sangat progresif, ada beberapa tantangan dalam pelaksanaannya. Salah satunya adalah resistensi dari beberapa ayah yang mungkin merasa tekanan dari tempat kerja atau norma sosial yang menganggap bahwa pengasuhan adalah peran ibu. Kvande menjelaskan bahwa meskipun kebijakan cuti ayah sudah diterima dengan baik oleh masyarakat Norwegia secara umum, ada beberapa sektor pekerjaan atau individu yang mungkin ragu untuk mengambil cuti karena khawatir terhadap dampaknya terhadap karir mereka.

Selain itu, norma sosial mengenai peran gender semakin berubah, masih ada tekanan bagi pria untuk mematuhi norma tradisional yang menyatakan bahwa mereka harus menjadi pencari nafkah utama dan mengutamakan pekerjaan di atas tanggung jawab keluarga. Hal ini menciptakan standar yang sulit dicapai yang menyebabkan banyak pria merasa tertekan untuk memenuhi kedua peran secara bersamaan.

Norwegia adalah contoh sukses bagaimana kebijakan cuti ayah dapat mengubah peran gender secara substansial. Dengan semakin banyaknya ayah yang menggunakan hak cuti mereka, terjadi pergeseran budaya di mana keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak menjadi lebih umum dan diterima secara sosial. Kvande menekankan bahwa keberhasilan kebijakan ini tergantung pada adanya komitmen dari pemerintah dan masyarakat untuk mendukung kesetaraan gender, serta perlunya terus mempromosikan norma-norma baru yang lebih adil antara pria dan wanita di rumah dan di tempat kerja.

Kvande menyarankan bahwa negara-negara lain dapat belajar dari model kebijakan Norwegia untuk mempromosikan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Kebijakan cuti ayah yang tidak dapat dipindahtangankan dan dibayar penuh memberikan insentif bagi pria untuk terlibat, sekaligus membantu mengatasi ketidakseimbangan gender dalam pengasuhan anak. Ini dapat diterapkan sebagai langkah penting dalam mencapai kesetaraan gender secara lebih luas di dunia.

Referensi:

Bowles, H.R., Kotelchuck, M. and Grau, M.G., 2022. Reducing barriers to engaged fatherhood: three principles for promoting gender equity in parenting. Engaged fatherhood for men, families and gender equality, p.299.

--

--

Zee
Zee

Written by Zee

I captured each moment through the art of writing

No responses yet