Suara deru mesin kendaraan berhasil menyentakku dari lamunan panjang. Seketika pikiranku tergerak untuk kilas balik menyelami tulisan-tulisan lama yang pernah aku abadikan di laman ini. Ah, rasanya sudah lama sekali tidak menulis dengan bahasa sederhana dan bersikap jujur apa adanya atas apa yang kurasakan.
Kali ini aku akan kembali pada masa-masa itu. Dimana aku penuh keinginan untuk terus belajar memahami diri sendiri. Kalau dihitung-hitung, sudah lebih dari 100 judul aku terbitkan di laman ini. Untung saja saat itu ada keberanian untuk memulai, pikirku. Karena kalau saat itu hanya menyamankan rasa takut, takut dan takut, maka tidak akan pernah sampai di judul ke-133 ini.
Bukan perjalanan singkat, jelas saja. Mengutip kalimat seorang filsuf, Ralph Waldo Emerson, “It's not the destination, it's the journey.” Dari sini aku belajar untuk lebih mencintai proses, ketimbang hasil itu sendiri, bagiku hasil adalah bonus. Tapi bagaimana diri berproses merupakan poros penting yang akan menentukan hendak ke mana arah perjalananku selanjutnya.
Teringat jelas bagaimana proses aku bertransformasi melalui tulisan dari judul ke judul. Mulai dari penggunaan kata 'saya', lalu beranjak menjadi 'aku' sampai terus mencoba dan berada di titik 'I am.' Oh, belum pernah aku jatuh cinta seperti bagaimana aku mencintai proses terbentuk, terbentur, bermutasi, dan menjadi apapun menurut takdir yang Tuhan rangkaikan untukku.
Kalau waktu itu aku tidak berupaya melepas hal-hal buruk dan menggantinya dengan yang lebih baik, aku tidak akan pernah tau rasanya memberi cinta pada diri sendiri, alih-alih semakin menambah rasa sakitnya. Semua rintangannya aku terima, pasang surut yang datang menghampiri, hancur lebur yang kucoba susun kembali, semua-muanya aku coba maknai satu persatu, tak mau ada yang tertinggal, sedikitpun.
Sebagai manusia, aku punya kebijaksanaan yang terbatas. Mau merencanakan sebagus apapun, namun pada akhirnya cuma Tuhan sebaik-baik perencana. Terbatasnya pengetahuanku ini membawa pada pemahaman bahwa apa-apa yg sudah Tuhan kehendaki untuk terjadi, maka itulah yang terbaik untukku. Akan selalu ada hikmah ketika aku mencoba belajar ikhlas dan percaya akan rencana terbaik-Nya. Aku lantangkan aameen dengan menengadahkan tangan berharap belas kasih-Nya.
Apapun yang terjadi pada fase pertama dalam setiap perubahan, telan saja apapun konsekuensinya karena itu merupakan bagian dari proses. Aku harus saklek terhadap apa yang sudah menjadi pilihan atau apapun yang diyakini. Dunia ini terlalu luas untuk aku sempitkan dengan pikiranku sendiri. Sekali lagi, aku mencoba menyederhanakan apapun yang semula rumit.
Ternyata, hidup dengan kesederhanaan berhasil membuatku jatuh cinta berkali-kali pada apa-apa yang ada di dalamnya.