[25/01, 14:40] Pak *censored name* LIPI: Assallamualaikum..gimana kabarnya fauziah…ni gedung koleksi basah ikan yg baru.
Sebuah percakapan ringan yang membuka kembali ingatanku pada memori-memori Cibinong di Tahun 2019. Seorang Bapak Teknisi Lab tempat kerja praktik dulu (yang sering kusebut dengan sapaan akrab menjadi Bapake) masih sesekali mengirimi pesan, entah menanyakan kabar atau sekadar memberi tahu bagaimana kondisi terkini bekerja di tempat tersebut.
Setelah 5 tahun berlalu, terjadi banyak perubahan pada tempat yang telah membuat arsip-arsip tak terlupakan di dalam kepala. Gedung koleksi spesimen ikan saat masih menjadi bagian dari LIPI (Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia) selalu memberi kesan horor saat menginjakkan kaki memasuki ruangan tersebut. Namun, waktu yang terus berjalan diikuti perubahan-perubahan yang pasti akan terjadi mengubah gedung itu menjadi lebih tertata rapi dengan penerangan yang optimal. Ah, terlalu banyak skenario-skenario manis di tempat tersebut, bahkan selembar kertas juga tidak akan pernah cukup untuk menceritakannya secara utuh. Tetapi memori yang berkesan tidak akan pernah mudah untuk diabaikan apalagi dihapuskan begitu saja, jadi sesekali kucoba memberanikan diri mengarsipkannya melalui bab ini.
Potret di atas memulai perjalanan kami saat pertama kali melangkahkan kaki mengitari bangunan Zoologi, khususnya Gedung Ilmu Sistematika Hewan. Pada hari itulah sekaligus menjadi pertemuan pertamaku dengan orang-orang sederhana tapi penuh makna dalam berbicara soal kehidupan. Orang-orang tersebut telah menjadi jawaban atas segala ketakutanku untuk berinteraksi dengan orang baru — memang terkadang semua hal yang menakutkan hanya menyeramkan di dalam kepala sendiri. Untuk memudahkan perjalanan menempuh ilmu selama sebulan di Cibinong, kami memutuskan untuk tinggal bersama (Aku, Saniah, Faizah, dan Kiki). Berkali-kali aku telah menulis bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini tidak ada yang kebetulan — pertemuan, perpisahan, pertengkaran, persahabatan, dan begitu juga pertemuanku dengan mereka untuk bersatu dalam tempat tinggal yang sama pertama kalinya. Betapa indahnya rencana Tuhan yang telah membuatku merasa pulang setiap kali jalan kaki menuju mereka.
Kebahagiaan yang aku rasakan saat itu tidak ingin ada satu pun momen yang terlewatkan, kemudian kusimpan sisa-sisa ceritanya dalam sebuah buku khusus berisikan perjalanan selama satu bulan di kota yang banyak memberiku kehangatan, Cibinong. Termasuk cerita pertemuanku dengan Balqis — atau Acis untuk sapaan akrab. Kekonyolan atas perbuatanku yang tidak sengaja memecahkan toples spesimen ikan, ternyata sehari sebelum kejadian tersebut Acis pernah bergumam dalam hati “Pernah ada yang memecahkan toples kaca spesimen belum ya,” lalu kebesokan harinya terjawab melalui kecerobohanku. Beruntungnya lingkungan kerja kami dipenuhi dengan suasana yang positif, alih-alih dimarahi atau diomeli oleh kepala Lab, mereka justru membantuku membersihkan kepingan-kepingan kaca toples tersebut. Mengenal Acis membuatku tidak takut untuk membuka diri, kulontarkan obrolan-obrolan receh seperti misalnya, “Eh, kalau mau belajar bahasa sunda bisa ga lewat nonton Jurnal Risa?” haha tapi siapa yang menyangka melalui obrolan tidak penting tersebut membuat kami berlima para manusia di Lab Ikan bonding dengan menonton vlog Jurnal Risa. Ah, manis sekali rasanya kehidupan yang tanpa banyak dijejali konten-konten sosial media yang sangat beragam, maklum gedung kami bekas peninggalan jepang, sehingga mungkin sengaja dibuat anti-sadap (bagian ini mengada-ngada) karena tidak ada sinyal sama sekali.
Setiap malam sebelum tidur, kusisakan waktu untuk menulis semua kejadian menarik di hari tersebut — sebuah kebiasaan yang membantuku untuk lebih bisa merefleksikan hidup dan segala maknanya. Yang menarik adalah ketika kami (Aku, Saniah, Faizah, dan Kiki) berbagi tugas untuk mengerjakan pekerjaan rumah dengan kebisaan kami masing-masing, tanpa ada yang merasa direndahkan atau tak berguna — sebuah nikmat pertemanan yang akan selalu masuk bagian dalam doa-doaku. Sisa ceritanya, seperti yang aku katakan di atas untuk menyimpannya dalam buku journaling milik pribadi.
Tetapi ada satu hal yang sejak awal kedatanganku ke LIPI membuatku bahagia sekaligus tegang — lingkungan LIPI yang masih sangat terjaga ekosistemnya, masih banyak tumbuhan dan hewan yang dibiarkan hidup di tempat tinggal masing-masing, karena kamilah para manusia yang sebenarnya menumpang di ‘rumah’ mereka. Kanan-kiri yang masih sangat hijau menyejukkan mata untuk menemani perjalanan kami menuju rumah Emak — kami menyebutnya Emak karena sikap perdulinya terasa seperti Ibu sendiri. Ah, lagi-lagi betapa melimpah kebaikan Tuhan di tahun tersebut telah merancang skenario perjalananku untuk bersinggungan dengan orang-orang baik penuh kehangatan dengan tutur bicara yang lembut dan penuh adab.
dan tidak terasa 5 tahun telah berlalu..
Tempat yang dulu memberi banyak pelajaran dan kehangatan telah berubah, berganti, melebur, atau apapun itu sebutannya — telah berbeda. Surat kabar melansir bahwa setelah perjalanan panjang akhirnya pada tanggal 6 September 2021, Indonesia secara resmi tidak lagi memiliki LIPI. Per tanggal tersebut LIPI telah resmi bergabung menjadi BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Mengutip dari laman website tempo.co yang mengoyakkan hati saat membacanya, “Dalam implementasinya, proses integrasi tersebut menimbulkan kekisruhan, kekacauan yang disebabkan oleh kepemimpinan LTH sebagai Kepala BRIN,” kata mantan Kepala LIPI, Lukman Hakim, dalam konferensi pers, Rabu, 5 Januari 2022.
Sebuah kebijakan mengiris hati terutama bagi beberapa karyawan LIPI yang terpaksa dengan lapang harus menerima bahwa dirinya tidak lagi dapat melanjutkan kontribusinya di tempat tersebut. Dalam obrolan singkat dengan Bapake beliau menjelaskan tempat yang lama sudah ditinggalkan, banyak honor yang lama dibayarnya, aturan yang terlalu banyak. Miris sekali mendegar rintihan tersebut dari seseorang yang dulu kukenal selalu menikmati dan penuh syukur dalam hatinya tentang apa yang dikerjakannya, bahkan selalu menghibur dan mengajak orang-orang di sekitarnya untuk lebih lepas tertawa meghadapi berbagai persoalan hidup.
Seribu pertanyaan berputar-putar di kepala “Apakah negeri ini benar-benar sedang mengalami kemerosotan ilmu penelitian? dan juga bagaimana nasib para ilmuwan yang telah mendedikasikan dirinya untuk kemajuan bangsa?” Ah, bullshit rasanya kalau dunia riset masih harus dibenturkan dengan kepentingan-kepentingan politik dan bisnis pribadi. Gedung-gedung itu masih di sana, entah bagaimana nasib para tumbuhan dan makhluk hidup lainnya, mereka pasti merindukan hiruk-pikuk yang biasanya terasa hangat, karena kini semua menjadi tegang, atau lebur yang benar-benar melebur menjadi hancur berantakan tak karuan.
Ini masih berbicara soal LIPI yang dinaungi oleh pemerintah, bagaimana nasib lembaga swasta seperti Eijkman. Banyak artikel memuat kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah yang kurang bijak tersebut. Ilmu riset yang seharusnya menjadi salah satu pilar kekuatan negara, kini mangkrak atau bahkan telah perlahan berjalan mundur, ah teriris sekali rasanya harus menghadapi kenyataan seperti ini. Namun, sama tidak bijaknya rasanya untuk terus-terusan menangisi dan berhenti di tempat yang telah terlanjur hancur itu. Mereka-mereka yang memiliki niat baik pasti akan selalu menemukan jalannya sendiri melalui kekuatan Tuhan untuk mewujudkannya. PR di negeri ini masih sangat banyak, semoga semakin banyak pula yang mau melek dan turut menyelamatkan apa-apa yang masih tersisa.
Selamat tinggal LIPI —
Sebuah gedung yang memberi arti pulang, menawarkan kehangatan, dan menyalakan api semangat dalam diri. Terima kasih untuk setiap pelajaran yang akan terus kubawa dalam setiap perjalanan kemanapun kaki ini melangkah.