Ini Saya, Bukan Kamu, Apalagi Kita.

Zee
2 min readOct 15, 2019

--

Ini adalah tulisan pertama saya di medium. Tulisan yang akan menghadirkan narasi lainnya. Walaupun media ini saya gunakan dengan tujuan untuk menyalurkan apa yang menjadi isi kepala. Saya berharap, semoga ada banyak hal positif yang bisa dimaknai.

Tulisan pertama adalah tentang bagaimana saya menyikapi sebuah rasa. Tentang perasaan yang terbilang cukup rumit.

Ketika sebuah pintu akan terbuka, hal itu bukan sekedar karena kebetulan dia sedang hadir, tapi karena memang saya merasa menemukan potongan yang pas. Bahkan, potongan yang kita anggap “pas" belum tentu benar demikian.

Setiap rasa pasti memiliki magnetnya sendiri. Terkadang, kita berusaha melawan magnet hanya untuk memuaskan hasrat rasa ingin memiliki.

Pemikiran ini baru ada di kepala akhir-akhir ini.

Dulu, saya hanya berpikir pendek ketika saya merasa menyukai seseorang yang padahal belum tentu perasaan itu benar adanya, alias hanya impulsif belaka. Setelah berusaha semakin kompleks dalam berpikir, saya menyadari bahwa saya bukan mencintai personal nya, melainkan karyanya atau segala sesuatu yang masih membutuhkan sebuah alasan mengapa bisa suka.

Sempat saya bertanya, adakah yang salah dari diri saya? Sampai saya tidak bisa merasakan ketulusan perasaan dalam diri. Namun sisi lain diri saya berkata, mungkin memang belum ketemu orangnya saja, atau mungkin saya yang terlalu rumit dalam menerjemahkannya? Semua kebingungan itu pada akhirnya memang menunggu waktu yang tepat hingga dapat terjawab.

Ketika saya memutuskan untuk lebih berhati-hati lagi soal rasa. Mengusahakan segala sesuatunya untuk memandang dalam jangkauan yang lebih luas.
Bertemu dengan seseorang yang ternyata sudah tahu saya sejak lama, tapi saya baru saja mengenalnya. Kehadirannya sebagai manusia mengajarkan saya akan perasaan ini; yang dari dulu menjadi teka-teki sendiri dalam kepala.

Mengenal seseorang memang bukan perkara paksaan, biarkan saja mengalir.
Hal itu yang saya terapkan padanya, ia yang sejak pertama mengenalnya menyita perhatian saya.

Awalnya, saya masih berpikir ini hanya perasaan impulsif seperti biasa. Namun, seiring berjalannya waktu perasaan tersebut semakin membentuk sebuah teka-teki. Hingga saya lupa waktu pastinya kapan, teka-teki tersebut berubah menjadi suatu perasaan pasti, lalu menghadirkan teka-teki lainnya. Saya cukup kesulitan dalam menerjemahkan perasaan itu.
Bertahun-tahun mencoba memahami, dan ternyata ia sudah memiliki ruang sendiri.

Berangkat dari rasa kepercayaan, lalu mengalami fase kecewa, dan berujung dengan sebuah keikhlasan.

Hal yang paling saya syukuri adalah saat menjalani serangkaian prosesnya; Terbilang cukup lama dan sangat rumit.
Teka-teki makin terjawab setelah saya benar-benar berusaha untuk melepaskannya.

Terlalu banyak hal baru yang saya pelajari; Terutama sesuatu yang saya anggap hal itu adalah melepas, ternyata masih dalam tahap menghindar.

Melepas bukan persoalan mem-blokade segala jalan tentangnya lagi. Tapi lebih dari sekedar itu. Bagi saya, bukan manusianya, tapi perasaan yang membelenggu yang sebaiknya dilepas.

Ketika dimulainya saja saya bingung sejak kapan, maka begitu pula ujungnya. Tapi poin pentingnya; Kini saya berani melepaskan perasaan yang membelenggu itu.

Ibarat magnet, perasaan akan menemukan sendiri kutubnya tanpa perlu sibuk mencari kesana-kemari.

Kalau kamu punya perspektif lain, silakan. Karena ini Saya, bukan Kamu, apalagi Kita, hehe.

Sekian ngelantur pada tulisan pertama di medium saya.

Terima kasih sudah mampir, semoga tidak kapok, ya!

Surabaya, 16 Oktober 2019.
04:41 WIB.

-dalam keadaan penuh pikiran tapi senang-

--

--

Zee
Zee

Written by Zee

I captured each moment through the art of writing

No responses yet