Bertahun-tahun menulis, lupa akan sebuah kebebasan. Atau mungkin hanya terlalu takut akan penilaian manusia-manusia.
Terlalu banyak “kalau” yang padahal hanya perlu dilepas saja;
Membiarkan huruf demi huruf merajut.
Mengizinkan kata demi kata menari.
Merelakan kalimat hingga paragraf berlantun kencang.
Oh hey, ada apa ini?
Tuan, tetiba saya ingin melepas kebebasan dalam diri, demi bisa menjadi seperti sosok yang selalu Tuan elu-elukan.
Tuan, ini jiwa saya. Apa yang ada dalam diri Tuan sehingga saya (hampir) rela mengganti jiwa dan kembali membelenggunya?
Oh Tuan, bukan begini caranya bukan? Memang tak ada yang salah membuat jiwa tetap bebas. Namun, kalau sampai begini, bukankah itu bebas yang terbelenggu?
Tuan, kini saya paham meski tampak delusi.
Kalau-kalau sampai jiwa bebas yang terenggut; membiarkan Tuan bahagia menikmati rasa rindu dengan menanti akan menjadi pilihan.
Jadi, saya bebaskan dan tak akan membelenggunya, Tuan.