Bau Petrikor di Bulan November

Zee
2 min readNov 1, 2024

Pukul setengah lima pagi, suara gemuruh hujan membasahi jalanan beraspal yang telah sekian lamanya mengering. Sejauh mata memandang, suasana jalanan masih sepi, hanya terdengar suara bising rintik hujan mengenai atap rumah. Biasanya ramai orang-orang bersiap menuju masjid untuk melaksanakan sholat subuh, tapi kali ini sepertinya mereka memilih untuk melakukannya di dalam rumah saja alih-alih basah kuyup.

Beberapa jam setelahnya, hujan masih turun deras membasahi tumbuhan-tumbuhan liar yang selama ini ikut menjadi korban kelalaian manusia menjaga lingkungan. Aku duduk termenung memandangi setiap rintiknya dari balik jendela. Sembari mencoba berkontemplasi tentang kehidupan, sejenak aku berpikir kalau hujan ini punya dua sisinya sendiri; Pertama, kehadirannya akan menjadi rasa syukur penuh bagi mereka yang telah lama bersabar menanti bumi menjadi sejuk kembali. Di sisi lain, ada yang pelan-pelan mencoba menghapus kecemasan dalam dirinya karena takut banjir tiba-tiba datang. Sebetulnya tidak tiba-tiba. Ada kelalaian manusia di sini — atau spesifiknya ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola lingkungan.

Bagaimana bisa?

Coba sesekali mengitari pemukiman (maaf) kumuh. Sampah-sampah menggunung seolah dipaksa menciptakan filosofinya sendiri di sana. Lebih buruknya lagi, kalau sudah terlalu sesak dan penuh, mereka akan dibakar menciptakan kelalaian entah sudah part keberapa. Sisanya akan dibiarkan mengapung, berenang melewati sungai-sungai dan berakhir menyumbat aliran air. Boom! Terjadilah banjir menimpa rumah-rumah dataran rendah. Suara kepanikan untuk membereskan apa-apa yang perlu diselamatkan penuh mengisi seisi ruangan mereka. Dalam benaknya terdengar suara pilu, “Barangkali, kehidupan kami di sini tidak dianggap berharga oleh mereka ya.” Hati mana yang tidak teriris-iris mendengar ucapan itu, kalau bukan karena telah mati dan diselimuti nafsu sesat.

Mereka tidak tahu harus membawa kantong berisi ribuan amarah ke mana lagi. Karena kadang-kadang mereka menjadi korban penampungan sampah yang bukan miliknya, tetapi apes harus menanggung akibatnya cuma-cuma. Mau komplain bagaimanapun, ujung-ujungnya hanya gaslighting yang mereka dapatkan. Betapa fenomena ini menyadarkanku, permasalahan sampah di sini masih belum sama sekali terselesaikan apalagi menemukan jalan keluarnya.

Hujan masih turun cukup deras. Aku berusaha menikmati setiap rintik-rintiknya yang menenangkan, bau petrikor yang telah lama tidak tercium. Tapi aku tidak akan pernah bisa benar-benar menikmatinya kalau di ujung sana, di sebelah sana, di antara lalu-lalang kendaraan, ada segelintir manusia yang cemas ketika hujan turun membasahi bumi, sekaligus menjadikannya acak adut karena arus banjir yang membawa barang-barang mereka yang belum sempat diselamatkan. Berbahagia di atas penderitaan orang lain memang bukan ide apik. Tapi semoga hasil permenunganku ini, membawaku pada sebuah solusi yang sedikit banyak bisa memberi peran pada jalan keluar yang selama ini banyak orang nantikan.

--

--

Zee
Zee

Written by Zee

I captured each moment through the art of writing

No responses yet