Aku masih tertegun menatap rotasi jam yang dibuat oleh fiksi manusia.
Setiap detiknya ada sel-sel dalam tubuh yang sedang melakukan tanggung jawabnya.
Dalam setiap diam yang aku saksikan, aku mulai meyakini kalau aku tidak benar-benar terdiam.
Kepingan-kepingan atom dalam tubuh menjelma menjadi cara otakku berpikir, perasaanku merasa, bibirku bergeming.
Minggu ini aku menyaksikan kebesaran Tuhan menimpaku berkali-kali banyaknya, berkali-kali lamanya menetap dalam tiap sudut-sudut aku meringkuk.
Pertanyaan silam terus mengulang susunan hurufnya di dalam puing-puing sarafku menyatukan.
Kedua tanganku akan dipersaksikan di hadapan Tuhan. Bagaimana?
Lamunan membawaku hanyut pada sesuatu yang seharusnya membentuk benang merah.
Aku pikir mereka benda mati. Lupaku mengingatkan, dalam setiap gerak gerik oleh buatnya, ada kehidupan yang menyalakan nyawanya.
Kebesaran Tuhan amat tampak di pelupuk menggantung, memekakkan pandangan yang tunduh.
Kalau menerima bisa cuma-cuma, kenapa tidak ambil langkah besar, juga?
Aku pikir detik jam terhenti, nyatanya torehku semakin seru seruannya.Tenggelam lebih jauh, lebih gelap, lebih dalam lagi.
Tuhan ada di sana, membawa kebesaran-Nya yang sering kulupa sisipkan pada sekat-sekat perasaan.
Kini waktuku, saatku, meramu semua yang dipercaya.
Aku dan rasa percayaku—yang akan bertemu dalam peraduan.
Salamku,
Berselimut embun di awal Oktober.