Amarah Pertama pada Tuhan

Zee
4 min readMay 12, 2021

--

Potret ini baru berani tersentuh kembali belakangan ini. Mungkin, orang awam melihatnya sebagai visualisasi wajah dengan bibir yang mengerut dan tatapan tajam seorang anak kecil dengan usia 6 tahun. Berbeda halnya denganku, aku melihatnya sebagai sebuah luka. Masih terekam jelas deretan kejadian yang menyisakan bekas sampai puluhan tahun setelahnya. Beruntungnya, hari ini hanya tertawa yang tertinggal.

Satu-satunya penyesalan dalam perjalanan hidupku, saat pertama kalinya aku marah pada Tuhan. Sebagai seorang anak kecil yang tidak banyak bicara saat itu, aku tidak tahu harus meluapkannya pada siapa, yang kuingat hanya luapan amarah pada orang-orang terdekatku.

Awalnya, semua berjalan masih baik-baik saja, walaupun memang aku tidak tertarik untuk bermain dengan teman-teman sebayaku. Aku lebih tertarik untuk memikirkan hal-hal yang tidak selayaknya menjadi pemikiran seorang anak kecil yang belum matang. Namun, saat itu selalu menjadi rutinitasku. Aku piawai sejak masih playgroup untuk mengamati tingkah laku tiap orang yang berbeda-beda dan unik. Seseorang mengajakku berkenalan, aku mengabaikannya. Betapa menyebalkan seorang anak kecil yang seperti itu, itu aku.

Dunia masa kecilku hanya seputar menangis dan menyebalkan. Sampai ibuku bilang, kalau mau masuk Sekolah Dasar harus bisa membaca dan menulis. Sejak saat itu, pertama kalinya aku mulai menyaksikan ambisi dalam diriku. Aku berlatih setiap hari mengenal huruf demi huruf yang kemudian tersusun menjadi sebuah frasa. Aku memaksa otot tanganku untuk mengejanya melalui tulisan. Dan aku berhasil! Di sini awal mula aku mencintai proses dalam sebuah belajar—membaca dan menulis. Aku pikir mereka teman pertamaku, yang tidak akan pernah mengecewakan, karena setiap hari aku semakin bergelut dengan keduanya.

Sepertinya, karena masa playgroup aku memakai jilbab–karena berbasis islam–orang-orang belum sepenuhnya mengetahui siapa dan bagaimana aku. Permulaan dari semua luka ini terjadi saat aku memasuki Sekolah Dasar.

Hari pertama masih kujalani dengan penuh semangat untuk mempelajari hal-hal baru. Aku yang selalu merasa sekelilingku tidak aman, masih ditunggui oleh ibuku, setiap hari. Dugaanku tidak meleset, ternyata belajar memang sebuah proses yang aku enjoy menjalaninya. Aku mendapat peringkat pertama di antara teman-teman sekelasku. Skor ini membuat semangatku makin terpacu untuk lebih dan lebih lagi mempelajari sesuatu hal yang masih banyak awamnya. Tapi, Tuhan mau aku kenal dengan perjalanan hidup yang tidak selalu berjalan mulus dan sesuai dengan harapku.

Aku mendapat cercaan pertamaku.

Mungkin, kalau yang mereka komplain adalah sifat dalam diriku, aku akan dengan ringan hati untuk berbenah. Sayangnya, mereka menyela pemberian Tuhan yang hadir di dalam diriku. Mereka mencela rambutku yang keriting. Sebagai seorang anak kecil, aku hanya bisa mengadu dan meluapkan amarah pada kakakku yang hanya berbeda 2 tahun usianya denganku. Cercaan ini datang dari teman sekelas laki-laki yang bergerombol hanya untuk menghinaku. Tentu tidak semua, masih ada satu atau dua orang yang memang rajin di kelas melihatku sebagai manusia seutuhnya.

Namun, aku yang belum mengenal diriku sepenuhnya di usia sangat belia, hanya bisa murung setiap pulang sekolah atau mungkin sepanjang hari. Beruntungnya, saat itu aku masih mencoba bertahan dan terus fokus pada kesenanganku untuk selalu belajar. Sayangnya, keluargaku yang terkena imbas dari perbuatan mereka, emosiku menjadi semakin tidak stabil dan bisa meledak secara tiba-tiba.

Usiaku memasuki 8 tahun, di mana Tuhan masih mau memberiku pelajaran, sekali lagi. Aku yang suka makan cokelat harus menerima akibatnya, gigiku lubang. Ini berbeda dari sakit gigi kebanyakan orang. Rahang kananku membengkak, setelah ibuku membawaku pada dokter, katanya sih infeksi. Awalnya, kukira lubang ini hanya merusak satu gigiku, perkiraanku lagi-lagi salah. Infeksi ini menjalar mengenai rahang bawah sebelah kanan dan setiap hari semakin membengkak berisi nanah dan darah.

Semangatku kembali terenggut, aku kehilangan hasrat untuk melakukan apapun, bahkan makan makanan kesukaanku juga tidak ingin. Lebih parahnya, mereka semakin menambah daftar olok-olokan pada apa yang tampak pada tubuhku. Kemudian aku merasakan kehancuran pertamaku di usia 8 tahun. Untuk pertama kalinya pula aku mendapat nilai 0 dalam ujian matematika — hal yang aku suka. Dan pertama kalinya aku terbersit untuk mengakhiri hidup. Beruntungnya aku tidak memiliki nyali untuk melakukannya. Aku hanya bisa bertahan, walaupun murung yang menghiasi wajahku setiap harinya.

Detik ini, luka yang aku rasakan setiap mengingat kejadiannya — mati. Momen saat lukanya belum benar-benar mengering, aku teringat kembali kejadian ketika usia 8 tahun dan sedang berada di posisi terendahku. Mereka masih saja tidak puas membiarkan aku hidup dengan duniaku, aku berani bertaruh bahwa aku tidak satupun memiliki kesalahan di hidup mereka. Tapi, lagi-lagi mereka dengan lancang membongkar buku diary bergembok milikku. Buku itu berisi segala hal tentang perjalanan hidupku, sama halnya seperti ketika seseorang menceritakannya pada seorang teman karibnya. Aku memercayai bukuku tidak akan menghakimi apapun dari ceritaku, namun mereka merusaknya.

Hadir selama 8 tahun menjadi manusia, aku merasa tidak berharga. Aku benar-benar kehilangan kendali atas diriku sendiri. Bahkan aku masih mengingat ketika meminta pada Tuhan untuk melenyapkan keberadaanku. Tapi, belum tentu keburukan ini sebagai sesuatu yang buruk untuk diriku di mata Tuhan, mungkin sebaliknya. Hey, anak kecil dengan usia 8 tahun mana yang bisa setegar itu? Pikirku, kala itu. Satu-satunya yang ada dalam pikirku, hanya benar-benar ingin mengakhiri semuanya. Belajar yang menjadi sumber bahagiaku telah lenyap, aku mulai trauma menuliskan kembali kisah hidupku di atas secarik kertas, takut orang lain menghancurkannya kembali.

Aku marah, kemarahan pertamaku pada Tuhan. Kemarahan yang benar-benar marah.

Tuhan, kenapa harus aku yang menerima kejadian ini?

Tuhan, kenapa fisikku yang Engkau pilih menjadi seperti ini?

Tuhan, kapan ini semua berakhir? Apakah kehadiranku di dunia hanya untuk menjadi hancur seperti ini?

Seorang anak dengan usia 8 tahun, berani meraung seperti itu pada Tuhannya. Yang kemudian menjadi satu-satunya penyesalan dalam hidupnya. Ini aku, kisah perjalananku.

Aku tidak pernah merasa senang dikasihani, mungkin itu alasanku menjadi pura-pura kuat di hadapan teman-temanku. Aku menutupi semua luka yang aku rasakan di usia 8 tahun dengan bekasnya yang terus mengikuti kemana pun kaki melangkah.

Kalau suatu saat ada seseorang memujiku dan aku lupa berterima kasih, barangkali luka itu yang membuatku memandang diriku seperti belasan tahun lalu. Tentu aku sedang berusaha menyembuhkannya, dan aku hampir berhasil.

Pelajaran berharga ini, memang Tuhan yang mau aku menerimanya. Amarah pertamaku pada Tuhan, semoga menjadi perjalanan terbaik untuk lebih mengenal-Nya.

--

--

Zee
Zee

Written by Zee

I captured each moment through the art of writing

No responses yet