Pelacur

Zee
5 min readSep 25, 2020

--

Photo by Josh Sorenson on Pexels

Persimpangan jalan selalu menjadi tempat penuh cerita. Kali ini, cerita dua orang yang sedang berdialek di trotoar persimpangan. Betul. Aku menguping—lebih tepatnya tidak sengaja terdengar. Durasi mereka bercerita terhitung lumayan lama. Sempat aku berniat memutar balik badan, tapi seolah badanku tak mau bergerak. Pembicaraan mereka membuatku terenyuh lantas susah beranjak.

Sedang apa kau sendirian pukul 03.00 dini hari di persimpangan jalan? kata seorang lelaki yang kemudian ikut duduk di samping lawan bicaranya. ‘Aku menunggu pagi hari nanti, sekalian mencari udara segar. Kau sendiri sedang apa dini hari sendirian juga?’ jawab seorang perempuan yang terlihat menggigil akibat udara dini hari yang menusuk sampai terasa ke tulang.

Lama aku melihat laki-laki itu terdiam. Seperti ada beban yang dia simpan di balik tatapan matanya yang kosong melongo ke arah jalan. Perempuan di sebelahnya hanya terdiam, menunggu lelaki di sampingnya kembali bersuara, namun ternyata, barang satu huruf saja tak ada yang keluar dari mulutnya. ‘Tidak apa kalau dirasa keberatan untuk bercerita. Take your time’, tambahan si perempuan itu.

Sampai selang beberapa menit, suasana masih terasa canggung. Karena keduanya sama-sama membisu. ‘Namaku Ringga. Boleh kutahu namamu?’ Akhirnya lelaki yang kemudian kuketahui bernama Ringga itu, memulai kembali percakapan. ‘Oh iya Ring, terima kasih sudah bertanya. Tapi, untuk saat ini sebaiknya tidak perlu kau tahu namaku’, jawabnya. Usai perempuan tersebut menjelaskan. Raut wajah Ringga terlihat penasaran dengan perempuan itu. ‘Lalu, untuk alasan mengapa kau berada di sini, apa aku juga tidak boleh tahu?’ kemudian tanyanya. Perempuan tersebut hanya tersenyum tipis, namun ketulusannya bisa aku rasakan. ‘Akan kuceritakan, walau sebetulnya aku tidak tahu apakah ini baik jika orang asing mengetahuinya secara gamblang’, imbuhnya.

‘Dari kecil, mungkin kisaran usia 6 atau 7 tahun, ya usia anak baru masuk SD lah. Aku dihadapkan oleh kenyataan yang amat pahit. Benar kata orang-orang, kehilangan sosok satu-satunya yang kita miliki berasa dunia runtuh—setidaknya duniaku. Saat itu aku hanya memiliki Ayah, entah kemana perginya ibuku. Ayahku tidak pernah menceritakannya. Singkat cerita, pulang sekolah aku bersemangat karena ingin menceritakan banyak hal pada ayah. Namun, kenyataan yang sedang kuhadapi saat itu, sulit rasanya kuterima bahkan hingga sekarang. Aku melihat langsung ayahku terkapar di depan pintu kamarnya. Rasanya sensor motorik tubuhku terhenti. Pandanganku gelap seluruhnya. Anehnya, aku tidak bisa menangis. Benar-benar kehabisan kata, kehabisan segalanya. Tubuhku sempat berhenti bergerak kira-kira selama 30 menit. Kemudian kukerahkan seluruh upaya untuk keluar rumah, meminta tolong tetangga untuk membawa ayahku ke rumah sakit. Tiba-tiba setelahnya, ayah sudah berada di pusara. Dimensi kehidupan aku dan ayah sudah berbeda. Waktu itu, aku mendapat uang rasa duka dari para tetangga. Peninggalan ayah sendiri, hanya sedikit. Aku tidak membenci keadaan itu. Tapi lebih daripada itu, aku mengalami kehilangan yang mendalam. Sampai usiaku 12 tahun, seluruh harta yang kumiliki untuk membayar sekolah telah habis. Aku coba bekerja paruh waktu, namun hasilnya belum juga mencukupi biaya sekolah, makan sehari-hari, kebutuhan mandi, dan masih banyak lainnya. Tetanggaku saat itu juga tak berlebihan harta. Hidup sebatang kara tanpa peninggalan apa-apa, berjuang untuk sekolah sendirian, menghidupi kebutuhan perut sendirian. Semua serba sendirian. Setelah ayahku tiada, aku juga berubah menjadi anak yang pemurung, sangat pemurung. Sempat terpikir untuk tidak melanjutkan sekolah saja. Tapi, entah bisikan mana yang saat itu datang bersamaan dengan suara petir yang memekikkan telingaku. Akhirnya, aku memilih untuk menjadi seorang pelacur. Aku tidak terpikirkan pilihan lainnya saat itu. Dari hasil pekerjaanku sebagai pelacur, kugunakan untuk menghidupiku, melanjutkan sekolahku, dan aku bersedekah untuk mereka-mereka yang telantar di persimpangan jalan yang selalu kutemui usai bekerja. Entah terhitung pahala atau bukan, aku tidak terpikirkan lagi soal itu. Di tengah pekerjaan yang sebenarnya tidak kuinginkan sama sekali, aku masih beribadah dan sering berinteraksi dengan Tuhan. Tapi sayangnya, hubunganku dengan sekitar jadi hancur lebur. Usai lulus SMA, aku bisa membeli rumah kecil dari hasil pekerjaanku, karena rumahku yang lama sudah kurang layak untuk ditempati. Aku melanjutkan kuliah di salah satu universitas swasta, dibiayai oleh salah satu pelangganku, dia berjanji akan membiayai kuliahku sampai aku lulus. Entah ini apes atau mungkin konsekuensi yang memang harus aku dapatkan, aku di DO dari kampusku. Si kampret yang membiayai kuliahku menyebarkan videonya saat berhubungan denganku. Alasan dia menyebarkan aku juga tidak pernah tau sampai saat ini. Belakangan kuketahui, dia cemburu karena aku dekat dengan laki-laki tampan. Laki-laki itu teman kampusku sendiri, ia mendekatiku karena ingin kursus secara pribadi untuk beberapa mata kuliah dan juga membayar dari hasil kursus itu. Sudah hancur rasanya hidupku. Tak lama setelah video itu tersebar, tetanggaku juga mulai ramai menggunjingkanku. Tak tanggung-tanggung, bahkan ada yang sampai dengan teganya melemparkan batu ketika aku turun dari taksi di depan rumah. Aku benar-benar kebingungan. Aku telah mencoba mencari kerja lainnya, tapi mereka tidak bisa menerimaku karena video yang pernah tersebar itu. Hancur. Mau pindah rumah juga tak semudah itu, kau pasti mengerti kan. Aku melanjutkan hidup yang seada-adanya, sekuat-kuatnya, semampu-mampunya — dengan pekerjaan yang sama. Cercaan dan gunjingan tegangga sudah kujadikan makanan sehari-hari—agar aku terbiasa. Hatiku sudah tersayat, tapi aku tidak mau menyatat tanganku. Hidup harus terus merangkak, berjalan, berlari, terpeleset, begitu seterusnya sampai aku benar-benar mati tak sengaja, bukan yang disengaja’. matanya nanar setelah menceritakan kepiluan hidupnya.

Aku yang hanya mendengar cerita itu dengan cara menguping—terenyuh. Ringga yang daritadi di sampingnya mengatakan bahwa dia turut bersimpati atas kisah hidup perempuan itu. Tak lama perempuan itu melanjutkan ceritanya, ‘Tapi, satu hal yang sulit aku pahami. Mengapa orang-orang bisa begitu jahatnya untuk menghardik sesuatu yang bahkan tidak merugikan hidup mereka. Tidak mengganggu hidup mereka. Aku tahu aku salah. Aku tidak punya pilihan. Mereka hanya menambah luka atas setiap perjalanan hidup yang berusaha aku pertahankan. Aku juga tidak mau seperti ini seterusnya. Tadi kalau kau heran mengapa aku sendirian dini hari di persimpangan jalan. Karena, hujatan itu datangnya pukul 03.00. Di saat mereka bangun untuk melaksanakan shalat tahajjud, aku baru selesai dari pekerjaanku. Namun, mau sembunyi seperti apa pun. Mereka sudah paham kalau aku selalu pulang pukul 03.00 dini hari. Jadi, aku memilih untuk tidak pulang sampai matahari terbit, sampai mereka sibuk dengan kerjaan dan urusan masing-masing. Aku juga belajar dari pengalaman pahit ini. Dosa itu milik masing-masing, selagi kegiatan dosa itu tidak merugikan orang lain. Mengingatkan tentu sangat baik. Namun, kalau dengan cara menghardik, itu hanya akan menambah pelik permasalahan’.

Matahari kemudian mulai terbit. Entah apa percakapan terakhir mereka, aku sudah tidak mendengar—terhalang kebisingan lalu lalang kendaraan. Namun, saat aku melihat perempuan itu berjalan—entah menuju kemana—dia memberi makan kucing-kucing jalanan dan seolah berinteraksi layaknya seorang anak dan ibu.

Pelacur di Persimpangan Jalan, 1989

--

--

Zee
Zee

Written by Zee

I captured each moment through the art of writing

No responses yet