Sore itu aku menggigit sepotong kue di teras belakang rumah. Pandangan mata yang masih sama, kupu-kupu yang hilir dari satu putik ke putik lainnya. Kelinci yang sedang melompat-lompat, sepertinya sedang kasmaran entah dengan siapa. Tapi, rasanya ada yang berbeda dari sepotong kue yang kugigit. Tidak seperti biasanya ketika aku bisa merasakan bahkan sejak gigitan pertama, aku coba menggigitnya sekali lagi, masih berbeda.
Sepotong kue yang berusaha memberitahuku, seolah pembuatnya sedang tidak baik-baik saja. Ia memang pernah menyampaikan secara langsung padaku, kecintaannya menghasilkan sepotong kue merupakan hasil karyanya yang juga melibatkan hati, sama seperti saat seseorang sedang melukis di kanvas, bernyanyi di atas panggung, apapun itu.
Gigitan kue pertama berbisik padaku,
Belakangan ini banyak orang-orang bersikap terlalu. Terlalu baik, bodoh katanya. Terlalu jahat, bukan manusia katanya. Terlalu asyik, murahan katanya. Saat kabar-kabar itu sampai di ujung telinga, aku yang hanya sepotong kue berusaha menepis segala susunan hurufnya biar menjadi kacau balau sekalian. Semakin aku singkirkan, semakin kata-kata itu tersusun jelas, dan membuatku menjadi sepotong kue yang sedang kamu rasakan perbedaannya bahkan sejak gigitan pertama.
Banyak berita kehilangan menemui wujud manusia yang terlalu mencintai. Banyak perasaan yang digenggam terlalu erat, sampai-sampai kehabisan stok oksigen. Banyak urusan pribadi yang terlalu dikeroyok ramai-ramai, sampai bahagia sepertinya sulit sekali terdefinisikan.
Ah, terlalu banyak yang ingin aku sampaikan dalam wujudku yang hanya sepotong kue ini. Tapi tenang saja, aku sudah mengurungkan niat itu semenit yang lalu. Apa-apa yang terlalu, ternyata memang kurang baik, ya.
Aku berhenti untuk melanjutkan pada gigitan-gigitan berikutnya, terlalu memang menyesakkan. Itu kenapa kata porsi saat ini menjadi harapan yang lebih terasa maknanya. Jangan terlalu, begitu pesan yang ingin disampaikan oleh gigitan pertama dalam sepotong kue.
Di teras rumah,
Sat, 6 Nov
18.08